Setelah berhari-hari tinggal di rumah bersama keluarga, saya berencana pergi ke kota Sumenep. Ingin berkumpul dan ngobrol dengan...
Namun, tanpa diduga, setelah saya siap berangkat dengan sepeda motor hasil pinjaman (sepeda saya dikenak sita karena tidak mempu melunasi), bibi, saudara ibu, sakit panas secara mendadak dan harus di opname di Rumah sakit Ambunten Sumenep Madura. Akhirnya, saya gagal pergi ke Sumenep. Saya harus ikut ke Ambunten. Sebenarnya, keluarga tidak terlalu berharap saya ikut ke rumah sakit. Cuma, kata tetangga : tengka. Masak saudara ibunya sendiri sakit, tidak ikut. Apa kata dunia…!
Kini, bertepatan dengan 16 Januari 2009 saya sudah berada di Rumah sakit. Meladeni bibi dengan segala kebutuhannya. Mulai dari membeli makanan ke warung nasi hingga mengantarkannya ke Jeding saat dia mau pipis. Suatu ketika, saya ngobrol dengan orang-orang senasib di sekitar saya. Mereka memberi kabar bahwa besok ada lomba Kerapan Sapi. Kontan saja saya bertanya, di mana? Lapangan depan rumah sakit ini, jawab merekat singkat. Terus terang, seumur hidup hingga sekarang berumur 26 tahun, saya tidak pernah menonton Kerapan Sapi. Padahal, konon itu adalah tradisi orang Madura, tapi orang Madura sendiri seperti saya tidak tahu seperti apa Kerapan Sapi.
Dulu, waktu saya masih kecil, ingin sekali nonton kerapan sapi. Tapi waktu orang tau masih hidup, mereka tidak pernah mengizinkan saya menonton tradisi turunan itu. Ortu beralasan menonton dan melakukan Kerapan Sapi haram. Entah dari mana almarhum bapak dan ibu saya mendapatkan dalil keharamannya. Saya tidak banyak tanya, dan ikut saja apa kata mereka. Jika nanti saya nonton Kerapa Sapi, bukan berarti melanggar peraturan orang tua, tapi karena kebetulan saja pergi mengantarkan orang sakit dan berbarengan dengan acara Kerapan Sapi.
***
Matahari mulai muncul dari peraduannya, bunyi gamelan dan gendingan dari lapangan mulai menelusuri ruang-ruang rumah sakit. Wajar, tempat Kerapan Sapi memang tepat berada didepan rumah sakit swasta itu. Sekeliling area mulai jam 07.00 WIB di tutup, orang-orang yang mau masuk lapangan harus bayar karcis. Tak peduli apakah mereka mau menjenguk keluarganya yang sedang dirumah sakit. Yang penting, bagi mereka yang mau ke area perlombaan hewan harus membayar karcis karena semua orang yang datang dianggap penonton. Jadi wajib bayar.
Kini, Sapi-sapi dengan iringan gendingan mulai dan terus berdatangan. Hewan itu sebelum dilombakan, tampak mulya. Ia dikawal bak sang raja yang turun dari singgasana menuju medan pertempuran.
Sekitar jam 09.30 WIB perlombaan dimulai. Masyaallah, lari sapi benar-benar kencang. Di belakangnya ada satu orang yang sedang memandu jalannya sapi. Istilahnya tokang tongkok. Kebanyakan yang menjadi tokang tongkok adalah anak kecil umurnya kisaran 12-16 tahun. Mengambil anak usia itu, agar tidak memberatkan Sapi ketika di medan pertempuran sehingga larinya bisa kencang.
Waktu itu, saya menonton di depan rumah sakit, tidak beranjak. Jaraknya sekitar 50 m ke Lapangan. Tapi hati tetap heran, mengapa hewan itu sengat kencang larinya, apa karena disorak-soraki dari belakang dengan berbagai bunyi-bunyian yang sangaja ditabuh oleh sang pemilik Sapi? Tidak mungkin.
Tidak puas dengan jawaban yang sangaja saya kelola, akhirnya saya beranikan diri mendekat ke garis start. Saya harus melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan untuk hewan itu sehingga bisa lari sekenjang itu. Sebab, di daerah saya, desa Basoka, biasanya hewan itu digunakan untuk membajak sawah dengan pelan, kok sekarang larinya bisa kencang.
Saya mendekat. Melihat langsung apa yang terjadi. Masyaallah, hati bergetar, ternyata sebelum Sapi itu berangkat, ia diberi Balsem Galiga di matanya, anusnya diberi cabe dicampur air, bokongnya dilukai menggunakan paku. Paku itu berbentuk cracak yang tajam. Dipukul dengan pecut. Setelah sang komandu mengangkat bendera, barulah sapi itu dilepas dengan seorang tokang tongkok sambil mencoblos-coblos bokong dan anus sapi dengan menggunakan paku. Sapi lari sangat kencang. Dilihat dari belakang, sapi itu mengalirkan darah segar bahkan ada yang kulitnya terkelupas gara-gara kuatnya tusukan paku.
Hati saya terus membrontak, apa tradisi ini yang harus dilestarikan? Apakah itu tidak termasuk penyiksaan terhadap hewan ciptaan Allah. Jujur saja, hati saya menangis. Andai tusukan paku itu dan ketika sudah luka masih diberi cabe dan matanya diberi balsam Galiga di coba kepada manusia, apa tidak meresa sakit. Siapa yang tidak akan kencang larinya, meski manusia sekalipun, bila di tusuk-tusuk dengan paku hingga luka dan terkelupas kulitnya?
Hewan adalah makhluk Tuhan yang juga memiliki rasa sakit seperti manusia. Perbedaan manusia dengan hewan hanya terletak pada akal dan pikirannya. Manusia adalah hewan yang berakal. Tapi, bukan berarti akal manusia digunakan untuk menyiksa hewan tak berakal.
Apakah contah Kerapan Sapi ini yang dimaksud ucapan guru saya di Annuqayah dulu bahwa terkadang manusia lebih rendah dari hewan? Tidak tahu. Saya juga tidak dapat memberi label dosa pada mereka sebab urusan dosa atau tidak adalah sepenuhnya hak Tuhan. Yang jelas, menyiksa makhluk Tuhan yang tak bersalah adalah perbuatan yang tidak pernah dianjurkan dalam Islam.
Sebenarnya, beberapa tahun lalu, sewaktu KH. Khalil masih hidup, tradisi Kerapan Sapi sempat hilang dan tidak ada. Tidak ada orang yang berani melaksanakan lomba Kerapan Sapi, karena jika melakukan itu, maka KH.Khalil tidak segan-segan mengejar dan menghajar para pelakunya. Tapi setelah KH. Khalil pulang ke Rahmatullah tradisi yang sangat menjengkelkan itu, mulai menguak lagi.
Lalu siapa saat ini yang dapat kita andalkan untuk memperjuangkan dan melawan perbuatan penyiksaan terhadap ciptaan Tuhan itu? Islam mengajarkan agar menghormati dan memelihara segala ciptaan Tuhan.
KOMENTAR