Suatu ketika, seoarng anak muda memberi stiker salah satu caleg pada seorang petani. Sambil memberi stiker itu, ...
***
Cerita tersebut mengisyarakat bahwa politisi yang ber-uang lebih mudah diterima masyarakat pada pilcaleg 2009. Bukan karena potensinya tetapi karena uangnya. Sebagaimana diketahui bahwa pasca putusan MK yang mengharuskan suara terbanyak dalam pemilihan legislative 2009, memiliki pengaruh besar terhadap jalannya perpolitikan dan politisi di tanah air. Keputusan Mahkamah Konsitisi itu mengindikasikan bahwa nomor urut calon tidak terlalu berpengaruh lagi. Meski caleg telah menduduki nomor urut satu, belum pasti akan menjadi anggota dewan. Sebab, nomor urut satu saat ini bukan berarti nomor urut jadi.
Berbeda dengan pemilu legislative 2004. Waktu itu, perebutan nomor urut satu benar-benar menjadi harga mati. Bahkan sebelum keputusan MK bergulir, para politisi masih “berperang” dalam partainya dengan sesama pengurus partai memperebutkan nomor urut satu. Karena nomor urut sangat menentukan jadi tidaknya caleg menjadi anggota.
Kini hal itu “tidak” lagi berlaku. Dengan keputusan MK, peluang caleg yang berada di nomor urut buncit, sama dengan caleg yang berada dinomor urut satu. Maka pada saat ini banyak politisi yang mencari cara lain untuk mendulang suara banyak pada pemilihan legislative mendatang.
Salah satu cara yang marak digunakan para politisi adalah cara lama yakni menggunakan jalur tokoh kharismatik. Mereka (politisi) diantaranya menggunakan identitas kiai meski tidak berlatar keluarga itu agar dapat dipercaya masyarakat. Banyaknya stiker caleg yang mulai beredar namanya sudah berawalan “K”, kiai, menjadi bukti kongkrit. Padahal sebelum menjadi caleg tidak ditemukan nama berawalan itu. Jika nama mereka tidak menggunakan awalan itu, politisi itu meletakkan gambar tokoh-tokoh besar dan nasional dibelakang stikernya. Semua itu sah-sah saja…!
Cuma hal itu dapat dikatakan sebagai kebohangan public karena mereka membangun kepercayaan masyarakat bukan dengan potensi dan kapabelitas diri sebagai politisi. Mereka menggunakan identitas lain bukan visi misi untuk masyarakat. Bukan pula dengan civic education, tetapi justru lay public dengan janji-janji seperti prilaku politisi lama yang tiada bukti. Padahal seandainya model membangun kepercayaan masyarakat dengan pendidikan politik, rakyat akan lebih percaya mereka untuk menjadi anggota dewan. Artinya, peluang lebih besar, sebab masyarakat lebih memahami visi dan misi yang diemban untuk masyarakat. Selain itu, masayakat juga akan lebih memahami arti penting politik dan jalannya proses demokrasi di Indonesian.
Selain jalan itu, politisi menggunakan jalan alternative lain yakni dengan money politic. Hakikatnya problem money politik bukan hanya sekarang. Setiap pesta demokrasi di negeri ini mulai dari tingkat desa hingga presiden, selalu menjadi menu utama. Tetapi saat ini, peluang terjadinya money politic lebih parah dan lebih besar dari tahun sebelumnya.
Bagi politisi ber-uang, maka uang akan dijadikan senjata pemungkas untuk mendulang suara. Apalagi kesempatan dan peluang mereka sama dengan nomor urut yang lain. Mereka pasti akan berani membeli sembako atau memenuhi kebutuhan masyarakat apa saja agar rakyak memilihnya, politisi ber-uang tidak akan segan-segan membeli suara masyarakat dengan harga berapapun selagi masih bisa dibeli.
Anekdot di atas adalah jawaban dan gambaran realitas masyarakat sekarang. Hal itu bukan berarti masyarakat kita bodoh. Tetapi karena mereka berangkat dari kekecewaan pada politisi yang menjadi anggota dewan sekarang yang tidak memberikan konstribusi apa-apa untuk kesejahteraan masyarakat.
KOMENTAR