Menjelang pemilihan legislatif 2014 , kiai kembali mulai dihujat karena dinilai keberadaan kiai selama ini di p e ntas politik tid...
Menjelang
pemilihan legislatif 2014, kiai kembali mulai dihujat karena dinilai keberadaan kiai selama ini di pentas politik tidak membuahkan prestasi berharga untuk umat.
Kini, kiai diminta back to pesantren,
mengurusi santri, mengayomi umat dan tidak berkecimpung dalam panggung politik
praktis.
Barangkali masih ingat dengan kasus pembakaran buku berjudul ”Kiai
di Tengah Pusaran Politik, Antara Petaka Kuasa”
karya Ibnu Hajar (IRCiSoD, Pebruari 2009) yang di bakar pembela kiai. Pembakaran buku itu, tentu sedikit
menjadi bukti bahwa kiai di paksa turun
dari panggung politik praktis.
Kiai
memang bukan Nabi yang suci dari kesalahan dan kekeliruan. Kiai bukan Malaikat
yang tidak pernah berbuat sesuatu yang menyakitkan atau merugikan umat. Kiai
bukan pula Tuhan yang lepas dari perbuatan mungkar. Hakikatnya, kiai adalah
manusia biasa yang tidak lepas dari salah dan lupa. Kiai adalah makhluk Tuhan
yang bisa terpesona dengan dunia,
terlena uang, dan tahta. Sebagai manusia, Kiai juga punya keinginan dan nafsu,
nafsu politik dan nafsu ingin menguasai, sama seperti manusia lain yang bukan
bertitel kiai. Jika demikian, mengapa dirisaukan ketika kiai terjun dalam dunia
politik praktis?
Itulah
akibat pemahaman yang perlu diluruskan tentang
makna kiai dan politik. Kiai sebagai tokoh agama dan benteng moral bangsa dan
tempatnya hanya di pesantren mengurusi para santri. Tugas pokok Kiai ialah
membangun generasi muda sebagai pewaris tongkat estafet keberlangsungan nilai
dan ajaran agama (Ibnu Hajar : 44, 2009). Sebagai “penjaga gawang” moral
generasi muda, kiai diharapkan tidak terjun dalam dunia politik karena politik
dianggap kotor, sedangkan dunia kiai adalah bersih.
Untuk
itu, penting kiranya difahami lebih luas bahwa tugas kiai tidak hanya berdiam
diri di Pesantren. Menjaga gawang moral generasi
muda, bukan hanya tugas kiai, tetapi tanggungjawab semua. Apalagi, generasi
muda tidak hanya ada di pesantren, di luar pesantren lebih banyak. Inilah
kemudian letak keharusan kiai berpolitik karena politik berurusan dengan
mengatur umat yang di dalamnya terdapat generasi muda. Kiai harus mengaturnya.
Jika
selama ini politik (yang telah banyak ditempati kiai) dianggap ruang
manipulasi, kejahatan, korupsi, kepalsuan, bukan berarti kiai yang kotor tetapi
karena prilaku politik yang mengotorinya. Apakah kiai politisi yang mengotori
itu? belum tentu. Justru kehadiran kiai di pentas politik praktis diharapkan
menjadi panutan umat, menjadi pengatur bangsa dan membenahi image negatif tentang politik. Karena
politik bukan sesuatu yang kotor. Politik adalah suci dan jauh dari nilai-nilai
kotor dan keji serta sesuai dengan ajaran Agama. Jika ada politisi yang mencoba
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan dalam berpolitik, bukan berarti
politik itu yang kotor sehingga tidak boleh ditempati kiai, melainkan pelaku
politik (politikus) itu yang mengotorinya. Esensi dari politik adalah
“suci”.
Politik
berhubungan dengan mengatur rakyat oleh negara yang terkait dengan persoalan egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), serta
human right (hak asasi manusia), serta persoalan-persolan lain yang berkaitan
dengan warga dalam suatu negara. Dan yang lebih spesifik, politik merupakan
suatu cara untuk mengatur kepenting umat. Bukan mengatur kepentingan kekuasaan
seperti pemahaman masyarakat barat. Loewenstein, mewakili masyarakat Barat
mengatakan “politic is nicht anderes als
der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan
kekuasaan).
Dalam
masyarakat timur, umat Islam khususnya mengartikan politik sebagai suatu cara
mengatur kepentingan masyarakat. Sebagai media, maka para wakil rakyat atau
pemerintah dikatakan sebagai pelayan rakyat. Politisi harus memperjuangkan
aspirasi rakyat dan perjuangan tersebut merupakan perbuatan terpuji yang di
anjurkan agama.
Islam
sebagai agama yang transparan, egaliter dan tidak eksklusif, memberikan akses
dan keleluasaan pada siapapun (termasuk Kiai) untuk mengatur umat baik melalui
jalur politik maupun dakwah. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman dalam kitab
suci al-Quran “Dan hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru pada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar. Mereka orang-orang yang beruntung,” (QS. Ali Imran :
104). Tidak ada larangan Kiai atau ulama berpolitik, Islam memberikan ruang
sangat luas pada umat Muhammad berkecimpung dalam politik, dalam arti mengatur
dan memperjuangkan kepentingan umat.
Dari
itu, pada pesta demokrasi mendatang diharapkan kiai ikut berpartisipasi
kembali. Keikutsertaan Kiai pada pemilu mendatang diharapkan menjadi penyejuk
bangsa, menjadi panutan, teladan serta dapat merubah image negatif dunia politik. Para kiai diharapkan betul-betul
meneladani Nabi dalam berpolitik sehingga kiai sebagai pewaris Nabi benar-benar
dirasakan bangsa.
KOMENTAR