MEMBACA judul tulisan ini timbul sebuah tanya, dimana lokasi desa batu , kecamatan dan ter masuk Kabupaten apa? Begitu pun Hua Xi . Pe...
MEMBACA judul tulisan ini timbul sebuah tanya, dimana lokasi desa batu, kecamatan dan termasuk Kabupaten apa? Begitu pun Hua Xi. Pertanyaan itu sangat wajar karena selama ini, saya yang orang Madura
asli belum pernah menjumpai nama desa batu. Ketika melihat peta
Madura tidak ada desa debu atau batu.
Barangkali konotasi batu lekat dengan refreshing, rekreasi, wisata dll, ya, kita mengenalnya dengan wisata Batu. Bukan desa batu. Dulu, kota itu termasuk bagian dari Kabupaten Malang, Jawa
Timur dan sekarang sudah menjadi kota tersendiri. Lokasi
wisata kota Batu, dihiasi dengan tebing curam. Gunung-gunung menjulang tinggi, nyaris mencakar langit.
Tapi, meski sudah diketahui lokasi
pegunungan dan perbukitan cukup tajam, orang kota rela berbondong pergi ke kota wisata batu. Mereka rela bermalam
berhari-hari di wilayah tersebut. Bukan hanya karena faktor cuaca dingin, bukan
pula karena di sana bisa melihat petani bertani secara
langsung. Tetapi, karena memang infrastruktur jalan di wilayah tersebut tak
membuat ban kempes.
Itu berbeda ketika kita akan pergi ke
lokasi wisata yang ada di Madura. Madura bukan tidak memiliki tempat wisata.
Bahkan, barangkali lebih lengkap dibandingkan dengan kota Batu. Jika di sana hanya terdapat wisata alam, di Madura ada lokasi wisata religi. Seperti pasarean Syaichona
Kholil Bangkalan, Makam Rato Ebu Sampang, Ronggosukowati Pamekasan, Asta Tinggi, Asta Pujuk Panongan, Asta
Yusuf Kalianget dll.
Ketika kita pergi ke kota Batu, wisatawan bisa melihat petani bertani secara langsung. Padahal, di Madura akan lebih banyak. Karena mayoritas masyarakat Madura adalah petani. Bahkan, petani
di Madura, barangkali lebih banyak hasil produksi pertaniannya dibandingkan dengan kota wisata Batu. Ketika kita jalan-jalan ke desa, pasti akan menemui
tanaman jagung, singkong, ketela, bawang merah, bawang putih, nanas, salak,
durian dll. Itulah bentuk kreatifitas petani di Madura. Petani Madura luar
biasa. Namun, kita juga berpikir, petani
Madura
miskin.
Saya kemudian tidak habis pikir.
Masyarakat desa, petani di desa seakan tak boleh kaya. Padahal, mereka juga
rakyat Indonesia. Petani di desa tidak boleh memiliki mobil mewah, rumah
mentereng dan kekayaan lain sebagaimana pejabat negeri ini. Buat apa juga
mereka punya mobil mewah, wong tidak ada jalan yang layak buat mobil yang mereka lewati.
Desa seakan tak boleh kaya. Itulah kemudian, saya menjadi teringat dengan Desa Hua Xi, Provinsi
Jiang Shu, Negeri Republik Rakyat Cina. Pada tahun 1961, desa Hua Xi hanyalah desa kecil terbelakang. Jumlah
penduduk 1520 orang, tergabung dalam 380 kepala keluarga. Di desa ini, dipimpin oleh Wu Renbao, seorang
Sekretaris Partai berpendidikan rendah
dan berprofesi sebagai petani.
Meski berpendidikan rendah, Wu memiliki prinsip, ”Kebahagiaan dinikmati rakyat, kesulitan
dipikul pejabat,”. ”Maju
dan makmur bersama,”. Dengan penuh kesabaran, dia membangkitkan semangat desa, semangat para
petani di desa Hua Xi. Ia membenahi mulai dari infrastruktur jalan, pelayanan kesehatan,
pendidikan hingga kepentingan utama lain di desa Hua Xi. Di desa itu, bukan
hanya sekolah dasar, kini Perguruan Tinggi pun sudah dibangun.
Barangkali, dia berprinsip: tidak bisa meningkat ekonomi masyarakat desa
ketika infrastruktur jalan tak dibenahi. Jalan di desa Hua Xi, sudah sama
dengan jalan kabupaten, Jalan Propinsi di Indonesia. Meski penduduk kecil, tak
padat penduduk, dia berusaha untuk mengaspalnya. Satu persatu jalan plosok
diperbaiki. Satu persatu pelayanan kesehatan ditingkatkan. Satu persatu pelayanan
pendidikan dibangkitkan.
Mungkin saja, Wu tak peduli jalan desa itu berpenduduk atau tidak, yang
penting jalan desa harus diperbaiki. Infrastruktur jalan harus bagus dan mudah
dilalui mobil, agar kendaraan pengangkut hasil produksi petani berjalan tanpa
rintangan. Tanpa halangan batu dan debu seperti di Madura.
Setelah jalan-jalan di pedesaan sudah bagus, Wu barulah berinisiatif menjalankan usaha warga sendiri. Usaha petani
disesuaikan dengan kondisi masing-masing dan kebutuhan pasar. Petani tak lagi kesulitan untuk menjual hasil produksi pertaniannya.
Mereka dengan mudah membawa ke pasar, sebelum kini telah memiliki perusahaan
sendiri.
Masyarakat desa Hua Xi bangkit. Kini desa Hua Xi menjadi desa terkaya di
Dunia. Kini setiap keluarga di desa itu, tak
hanya mempunyai rumah berbentuk vila berukuran 400 – 600 m², tapi juga memiliki
mobil sedan, bahkan ada yang sampai 3 mobil. Kapan desa-desa kita seperti itu?
Ah, terlalu berhayal barangkali.
Jalan-jalan di pedesaan di Madura, berbatu. Batu-batu bertebaran
disepanjang jalan. Debu berterbangan menusuk mata. Tak ubahnya dengan desa
batu. desa debu. Petani yang harus membawa hasil produksi pertanian mereka ke
pasar tak lancar. Gara-gara infrastruktur jalan, kebangkitan ekonomi warga desa
pun tersendat dan terganggu. Petani desa di Madura tidak bisa membeli mobil
seperti warga desa Hua Xi.
Itulah barangkali, karena kepedulian pemimpin negeri, baik pemimpin desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi dan negeri ini, perlu dipupuk kembali. Seperti
petani memupuk tanamannya. Rasa memiliki pada desa, masih lemah. Mungkin karena
mereka tinggal di kota. Mungkin pula karena sudah kaya berlagak seperti orang
kota, meski posisi sebagai kepala desa. Mungkin juga, mereka belum menyadari
bahwa desa adalah bagian dari Indonesia. Atau urat nadi ekonomi Indonesia.
Desa adalah sumber kekuatan ekonomi. Jika ekonomi masyarakat desa bangkit,
tidak mungkin akan ada istilah moneter. Namun, karena jalanan desa tak
tersentuh, dibiarkan, fokus pada perkotaan, desa tetap terbelakang. Kita butuh
peminpin visioner yang membawa kemajuan dan kesejahteraan rakyat keseluruhan. (*) Sampang, 13 Nopember 2013
BUSRI TOHA
KOMENTAR