SELAIN masalah infrastruktur jalan yang belum mendapatkan pelayanan maksimal akibat banyak jalan desa tak diaspal, juga masalah pelayanan ...
SELAIN masalah infrastruktur jalan yang belum mendapatkan pelayanan maksimal akibat banyak jalan desa tak diaspal, juga masalah pelayanan kesehatan butuh perhatian pemerintah. Pelayanan kesehatan, saya amati, masih belum berjalan maksimal.
Tak sedikit ditemukan pelayanan kesehatan, terutama di
pedesaan, hanya sekedar nama, Pukesmas Pembantu (Pustu), tapi tak ditempati. Dimana
mereka ketika dibutuhkan?
Saya berfikir,
barangkali petugas di Pustu itu sedang keluar daerah ada acara. Mungkin saja
sedang (alasan) rapat di Puskesmas Kecamatan. Atau mungkin saja, sedang
bepergian dalam acara keluarga. Positif thingking selalu dikedepankan. Kita tak
boleh berprasangka buruk pada petugas Pustu. Toh mereka juga manusia yang sama-sama memiliki kebutuhan pribadi.
Maklum..!
Keesokan harinya,
seorang teman datang bercerita. Dia mengaku baru datang dari Pustu di Desa itu.
Ia menceritakan bahwa mau berobat tetapi tidak ada petugasnya. Menurut
informasi dari aparat desa, petugas di Pustu sedang ada acara. Biasa, kalau di
desa biasanya Pustu itu kumpul dengan aparat desa. Satu balai dengan aparat
desa.
Hari ketiga, hari ke
empat, dan hari-hari berikutnya, teman saya itu, yang orang desa, datang lagi.
Ia berhasil bertemu sang petugas di Pustu. Dia diberikan pelayanan secara baik
dan maksimal meski terburu-buru petugasnya karena ada acara. Dia kemudia
berfikir, setiap saat selalu ada acara. Padahal, desa sudah menyediakan tempat
agar berpraktek. Tapi ternyata tak ditempati dengan baik. Orang desa harus
pergi ke rumah sakit yang harganya pasti lebih mahal.
Sudah menjadi biasa, di
desa-desa di Madura, pelayanan kesehatan masih menjadi keluhan masyarakat.
Pustu bukan tidak mau dimanfaatkan oleh warga, tetapi petugas di Pustu itu
banyak yang tidak menempatinya. Alasannya, di desa sepi. Tak heran, ketika
warga masyarakat akan cek kesehatan harus pulang dengan kecewa. Ia harus pergi
ke Puskesmas atau ke rumah sakit yang jauh dari desa.
Jika demikian, ini
bukan saja persolan ekonomi, bukan saja karena masyarakat desa secara finansial
tidak mampu untuk berobat secara baik. Tapi pelayanan pemerintah, terutama
Pustu, juga memiliki andil menggagalkan program kesehatan. Padahal bagi
masyarakat desa kesehatan adalah modal paling urgen untuk survive, bertahan dari kerasnya percaturan dunia kerja.
Lantas, desain
kepedulian kesehatan apalagi yang pemerintah coba terapkan. Semua seperti semu
bagi rakyat miskin. Bentuk kartu sehat saja belum cukup membantu. Bahkan
’politik kartu sehat’ kerap berahir ditangan pelayanan yang alakadarnya,
setengah hati. Seperti kasus akhir-akhir ini dimana pelayanan kartu miskin
tidak etis dan justru memupus harapan. Ironisnya lagi, tak semua rakyat miskin
mendapat distribusi kartu miskin. Di Madura misalnya, sebuah keluarga bersedu
karena ayahnya lumpuh dan tak kebagian kartu miskin sehingga sampai kini
terbaring lemas.
Cobalah sesekali
pemerintah bekomunikasi dari akar rumput, menceburkan diri kelapangan, ke dunia
nyata. Lantas merancang program-program yang memiliki relevansi dilapangan.
Cobalah sesekali pemerintah mengecek seberapa mantap program mereka, seberapa
besar persoalan kesehatan yang belum mereka jangkau dengan kebijakannya.
Cobalah seekali evaluasi. Cobalah sesekali sakit dan berobat yang sama kadarnya
dengan kartu sehat. Ah, barangkali anda semua (pemerintah) masih terlalu sibuk
mengurusi make up. Tak apa, saya
tidak memaksa.
Bukankah memberi
pelayanan seperti itu sama halnya dengan mengatakan; ’Orang miskin dilarang
sakit’? Lanjutkan saja kecerdasan kalian!
BUSRI TOHA
KOMENTAR