PESANTREN memiliki tradisi unik dan unggul yang tidak akan didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan yang dimiliki p...
PESANTREN memiliki tradisi unik dan unggul yang tidak akan didapat pada lembaga lain. Dan
salah satu keunikan yang dimiliki pesantren adalah tradisinya dalam
mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (al-Salafal-Shaleh).
Sebagaimana
telah diketahui bahwa Islam pasca meninggalnya Rasullah memiliki masa kejayaan,
yang dikenal dengan masa keemasan Islam, berkisar abad III-V H dimana berbagai
teori pemikiran Islam mencapai puncak kejayaannya. Saat itu, keilmuan dan
pengembangan pemikiran Islam terus berkembang.
Hal
itu semakin melejit setelah pemerintah, selain terus melebarkan kekuasaan
Islam, juga memberikan ruang kebebasan terhadap pemikir muslim untuk mengembangkan
keilmuannya, sehingga pada masa itu lahir gerakan penerjemahan terhadap
karya-karya filosof Yunani, yang pada gilirannya membuka ruang inklusif bagi
tumbuhnya pemikiran Islam. Perkembangan pemikiran abad ini seperti suatu era
yang melampaui zamannya. Para ulama giat dan gigih menggali ilmu pemikiran
Islam. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan pemerintah sehingga
Islam benar-benar jaya.
Pada
generasi berikutnya, realitas tersebut terlihat sebagai ciri khas ulama salaf
pada masa keemasan Islam. Seakan bukan ulama salaf jika tidak memiliki ghirah tinggi memperdalam ilmu agama.
Untuk itu, kiranya penting ditiru spirit mereka dan kehausan mereka terhadap
pengetahuan, mereka berusaha dengan keras tanpa mengenal waktu. Munculnya ulama
fiqih, mufassir, muhaddis, filosof yang sering kita lihat dan kaji karya mereka
sekarang merupakan bukti keseriusan mereka dalam berusaha mendapatkan
pengetahun baik tentang Islam dan yang lain.
Ibnu
Sina misalnya, ia terkenal sebagai ahli dalam bidang kedokteran, Ibnu Rusydi
terkenal sebagai filosof Islam, Imam Al-Ghazali masyhur karena tasawwufnya.
Mereka bisa terkenal dengan keahlian masing-masing karena mereka bersungguh-sungguh
menggali pengetahuan.
Kajian-kajian
terhadap berbagai karya besar mereka itu, saat ini hanya bisa didapat di
pesantren. Tidak pada lembaga lain. Itulah pesantren menjadi unik dan unggul.
Karya-karya mereka dikaji dan dikembangkan pesantren. Setiap waktu di pesantren
terus mengaji dan mengkaji kitab kuning, karya ulama salaf, dengan model
penjelasan dan pengajaran sorogan yang sangat sederhana dan terkesan apa
adanya.
Model
yang dikembangkan pesantren tersebut bukan berarti pesantren jumud dan ekslusif
terhadap sistem modern. Akan tetapi, dengan model tersebut, pesantren justru
ingin menjelaskan kepada khalayak publik bahwa untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya sebagaimana munculnya
kapitalisasi pendidikan seperti masa sedang marak terjadi di sekolah-sekolah
formal berijazah.
Model
sorogan warisan ulama salaf tersebut mengindikakasikan bahwa untuk mendapatkan
pengetahun bisa dilaksanakan dimana saja, Mushalla, Masjid dan di lapangan
sekalipun dapat diterapkan dan seorang santri bisa mempelajarinya.
Selain
itu, model pengajian di pesantren tersebut, juga ingin menandaskan bahwa pola
hidup sederhana sangat penting digalakkan. Hidup sederhana dan mensyukuri
segala karunia yang diberikan Allah merupakan tuntutan Islam yang mesti
ditradisikan. Memasak nasi sendiri di pesantren misalnya, merupakan contoh lain
dari upaya melekatkan pola hidup sederhana pada kaum santri. Sebab, kesenangan,
kepuasan dan kesejahteraan hidup bukan terletak pada kemewahan rumah, mobil
mewah, HP termahal dan kekayaan harta. Tetapi pada jiwa yang lapang serta mau
menerima segala nikmat Allah dalam bentuk apapun. Mensyukuri segala nikmat yang
telah diberikan oleh Allah.
Itulah
bagian dari keunikan pesantren dan tidak dimiliki lembaga lain. Siswa pesantren
atau lebih tepatnya kaum santri tidak diwajibkan berseragam dengan biaya mahal
untuk mendapatkan pengetahuan. Bagi orang-orang pesantren, siapapun yang ingin
mendapat pengetahuan Islam, cukup dengan datang ke pesantren, sowan kepada kiai
pengasuh pesantren dan mengatakan bahwa dirinya ingin menimba ilmu agama. Pada
pesantren, siapapun baik kaya, miskin atau siapaun dapat diterima untuk menjadi
santri dan menimba ilmu dengan tanpa harus melihat latar belakang ekonomi
keluarga.
Mungkin
tradisi unik itu yang mampu melanggengkan lembaga tertua ini bertahan dan
berkembang hingga kini. Meski gempuran zaman dengan berbagai teori baru, namun
tidak terlalu berpengaruh pada lembaga pesantren. Pesantren tetap konsisten
dengan pendiriannya sebagai pengembang pemikiran Islam dan penyebar pengetahuan
Islam. Komitmen tersebut dapat pula dikatakan bahwa pesantren banyak meniru
pola yang terjadi pada masa keemasan Islam.
Namun,
yang masih belum ditiru dan dikembangkan pesantren dari ulama salaf adalah
semangat kreatifitasnya. Terbukti, karya ulama salaf itu hanya dibaca
berulang-ulang tanpa ada usaha untuk melakukan pengkajian lebih mendalam dan
memberi kritik terhadap karya mereka. Lebih naif lagi, karya mereka dianggap
sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diotak-atik. Implikasinya, pemikiran
Islam mandul tak berkembang. Kalaupun ada yang berusaha melakukan kajian
seperti yang diusahakan Ulil Absar Abdallah bersama komunitas JIL (Jaringan
Islam Liberal) nya beberapa waktu lalu, tapi ternyata mereka masih menyadur
pemikiran lama dengan kemasan baru. Tapi usaha tersebut sudah mendingan ketimbang
tidak ada sama sekali.
Yang
paling penting ditiru dari ulama salaf adalah semangat mendokomentasikanpemikiran mereka dalam bentuk tulisan. Dan ternyata tradisi menulis seperti
ulama salaf itu yang masih sangat lemah di pesantren. Santri dan bahkan pengasuhnya
sekalipun, sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari yang bisa menerjemahkan
pemikiran dan hasil kontemplasinya dalam bentuk tulisan. Kaum sarungan tidak
menyadari bahwa mereka sampai dengan karya ulama salaf karena ulama mampu
mewujudkan pengetahuan mereka dalam bentuk tulisan. Kaum santri hanya
berdialektika dengan pemikiran mereka tanpa melihat dibalik perjuangnya untuk
menghasilkan pemikiran tersebut.
Dengan
demikian, sudah saatnya pesantren dan kaum santri meniru pola gerakan yang
dilakukan ulama salaf dalam memproleh dan mentransformasikan keilmuannya. Bukan
hanya takdzim dengan pemikirannya. Tatapi juga patuh (meniru) dengan usaha
untuk mendapatkan pemikiran kreatif. Ulama Salaf tidak hanya membaca dan
mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam
bentuk tulisan. Akhirnya, jika kreatifitas menulis dikembangkan kaum santri,
akan menjadi dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti.
Dan pada akhirnya, pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila telah
mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan
dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren. (*)
Busri Toha
Busri Toha
KOMENTAR