Kerapan Sapi , tradisi khas masyarakat Madura , yang muncul pada penghujung abad 13 atas prakarsa Pangeran Katandur. Beliau adalah Raj...
Kerapan
Sapi, tradisi khas masyarakat Madura, yang muncul pada penghujung abad 13
atas prakarsa Pangeran Katandur. Beliau adalah Raja berpengaruh pada masanya di
Kraton Sumenep. Ketika itu, Kerapan Sapi atau Bull Race, menjadi kesenian paling populer dan paling diminati
masyarakat Madura.
Sumber
lain menyebutkan, Bull Race bukan
muncul di akhir abad 13, melainkan pada abad
14 atas prakarsa Pangeran Adi Poday, anak Panembahan
Walingi yang berkuasa di daerah Kepulauan Sapudi. Pulau Sapudi masuk dalam wilayah Kabupaten
Sumenep. Kehidupan masyarakat di pulau Sapudi adalah bercocok tanam dan
membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi atas izin dan dukungan Adi Poday.
Berkat prakarsa itu, Adi Poday berhasil membuat pertanian di pulau Sapudi lebih
maju dari tahun-tahun sebelumnya. Setelah itu, ia pergi ke Sumenep.
Di
Sumenep, ia mengajak masyarakat
membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi juga. Akhirnya, semua masyarakat
membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi. Bahkan, lambat-laun mereka
balapan atau adu cepat dalam setiap membajak sawahnya. Atas dasar semangat itu,
kemudian diadakan perlombaan balapan sapi, yang kini dikenal dengan tradisi kerapan
sapi. Kedua tradisi itu, membajak sawah dengan tenaga sapi dan kerapan sapi masih
dilestarikan masyarakat Madura hingga sekarang. Di kampung-kampung dan
persawahan Madura, tetap menggunakan
tenaga sapi warisan Adi Poday untuk menggali hasil bumi, meski telah ada mesin pembajak
sawah.
Terlepas
dari perdebatan sejarah, Kerapan Sapi tetap menjadi perlombaan yang musti dilestarikan sebagai kebanggaan
masyarakat Madura. Sesuai dengan namanya, “kerapan” berasal dari kata “kerap”:
berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong. Orang Madura
menyebut kerapan sapi adalah pacuan sapi (adduen sapeh, Bahasa Madura), mengadu sapi sehingga bisa
lebih cepat sampai ke garis finish.
Penting
diketahui, di pulau yang dikenal masyarakat
agamis ini, tidak hanya terdapat kerapan Sapi,
tetapi banyak pacuan-pacuan lain seperti Kerapan Kerbau (Pulau Kangean),
Kerapan Kambing dan Kerapan Kelinci.
Dalam
perkembangannya. Kerapan Sapi melibatkan beberapa orang untuk menyukseskan
perlombaan, tidak seperti dulu (sebagaimana membajak sawah) yang hanya butuh
satu orang. Orang-orang yang terlibat dalam setiap perlombaan Bull Race di
antaranya; pertama, tokang tongko’,
orang yang bertanggungjawab mengendalikan Sapi di atas kaleles. Cepat lambat
dan lurusnya jalan Sapi di lapangan sangat bergantung kepada tokang tongko’
itu. Kedua, tokang gettak, orang yang
menggertak Sapi agar pada saat diberi aba-aba, Sapi dapat lari dengan cepat.
Pancalan awal Sapi bisa berangkat dengan cepat atau tidak bergantung kepada tokang gettak. Ketiga, tokang tonja, orang yang menuntun Sapi.
Sapi Kerapan biasanya tanpa dikendalikan oleh ahlinya akan mudah ghebel (lari tak tentu arah), ini
kemudian membutuhkan tokang tonja untuk mengendalikan Sapi. Ketiga, tukang gubra, rombongan yang bertugas
memberi semangat pada Sapi pacuan agar larinya cepat. Rombongan ini biasanya
membunyikan segala macam tabuhan semacam saronin sehingga sapi terlihat tegar
dan bersemangat. Terakhir, tokang tambeng,
orang yang menahan tali kekang (tongar) Sapi sebelum dilepas.
Kendati banyak cara agar sapi pacuan cepat larinya, penulis belum
menemukan literature bahwa dalam kerapan sapi harus dengan kekerasan. Penulis
juga tak menemukan, bahwa tempo dulu, tokoh-tokoh Madura melakukan penyiksaan dalam
setiap perlombaan kerapan sapi larinya lebih cepat.
Nilai Tradisi yang Perlu di Lestarikan
Kerapan Sapi mengandung nilai tradisi
sangat tinggi terutama bagi masyarakat
Madura. Hal ini menjadi munculnya semangat kerja keras orang Madura yang pantang menyerah. Filosofi orang Madura asapo’ angin salanjengah (berselimut
angin sepanjang masa) merupakan semangat pantang menyerah sebelum mencapai
tujuan. Nilai semangat juang tersebut juga tercermin dalam setiap prosesi
Kerapan Sapi. Dalam Kerapan Sapi nilai-nilai yang patut dijadikan sebagai
pedoman dalam menjalani kehidupan adalah kerja keras, kerja sama, persaingan,
dan sportivitas.
Pertama,
kerja keras, setiap orang yang ingin menggapai kesuksesan atau berusaha ingin
mencapai cita-cita harus bekerja keras. Kerja keras disini tidak hanya sebatas
mengandalkan otot tetapi juga otak. Sehingga ketika bekerja keras harus pula
bekerja cerdas. Hal ini tergambar dalam proses latihan sapi sebelum masuk ke
arena perlombaan. Pemilik sapi terlebih dahulu harus melatih Sapi dengan sabar
dan terus menerus agar sapi yang akan dipacu kuat dan tidak gugup ketika masuk
ke lapangan yang sesak dengan penonton.
Kedua,
kerja sama. Bagian ini merupakan kewajiban yang tidak bisa dilepaskan. Dalam
proses perlombaan Kerapan Sapi, harus melibatkan beberapa pihak lain seperti tokang tongko’, tokang gettak, tokang tonja,
tokang tambeng dan lain-lain sehingga Sapi pacuan itu bisa sampai ke garis
finish mendahului yang lain. Nilai kerja sama termaktub dalam usaha tersebut.
Sebab, tanpa adanya kerjasama tidak mungkin Kerapan Sapi bisa berlangsung
sesuai dengan ketentuan.
Ketiga,
persaingan, dalam Kerapan Sapi peserta berusaha keras dengan harapan Sapi
pacuannya berlari cepat dan mengalahkan pacuan-pacuan Sapi lawan. Inilah nilai persaingan yang ketat menemukan maknanya.
Keempat, dalam persaingan yang ketat, tidak boleh ada kecurangan, setiap
peserta harus sportive. Tiap peserta tidak boleh curang; peserta harus menerima
kekalahan bukan hanya bisa menerima kemenangan saja.
Dengan
demikian, pesan-pesan moral dan semangat juang dalam tradisi Kerapan Sapi itu
harus menjadi pedoman yang mesti dilestarikan. Tidak boleh hancur di telan masa. Tradisi masyarakat Madura yang baik, harus
tetap utuh dan tak boleh ambruk. Bahkan harus dikembangkan
dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Madura sendiri. Lalu, siapa lagi yang akan
melestarikan jika bukan kita, orang Madura?
KOMENTAR