BUSRI THAHA Ribuan orang tua siswa di Madura mengeluhkan mahalnya ”harga” Pendidikian. Sebab, meski muncul istilah bahwa tidak boleh ada sis...
BUSRI THAHA
Ribuan orang tua siswa di Madura mengeluhkan mahalnya ”harga” Pendidikian. Sebab, meski muncul istilah bahwa tidak boleh ada siswa dikeluarkan gara-gara tidak memiliki biaya, namun tetap tidak menyurutkan harga pendidikan yang harganya kadung melambung tinggi.
Sejumlah lembaga pendidikan rupanya berlomba-lomba untuk menaikkan harga pendidikan. Dalih lembaga pendidikan (sekolah), untuk biaya pembangunan, membeli seragam serta keuangan lainnya. Bahkan, ada sebagian lembaga yang dengan sengaja menyediakan formulir khusus berisi tentang kesiapan orang tua siswa untuk membayar uang pembangunan. Dalam formulir tersebut, orang tua siswa ditawarkan akan berani membayar berapa untuk uang pembangunan.
Lebih Ironis, pengisian formulir dilakukan sebelum siswa benar-benar masuk sekolah. Selain itu, orang tua siswa masih disodorkan dengan uang seragam siswa. Besar kecilnya bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Sekolah memang beralasan hanya penawaran bukan paksaan. Tetapi, jika sekolah menyediakan, tidak mungkin orang tua siswa tidak akan membeli. Sebab, jika membeli diluar sekolah, khawatir tidak sama model dan bentuknya. Sehingga, wali murid dengan terpaksa harus membayar.
Salah satu contoh, di Madura, ada salah satu orang tua siswa. Dia terpaksa harus harus merongoh gocek hingga Rp 840 ribu untuk biaya daftar ulang dan uang pembangunan. Itu belum termasuk uang seragam yang dipatok untuk siswa baru. Bahkan, untuk biaya seragam, ada orang tua siswa harus mengeluarkan uang hingga Rp 1 juta.
Pertanyaannya, benarkan pendidikan gratis? Rupanya pertanyaan tersebut sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, nyaris tidak ada sekolah yang gratis atau tidak memungut dana apapun dari siswa, terutama terhadap siswa baru. Bahkan, dipastikan setiap lembaga meminta uang terhadap anak didiknya.
Bagi orang tua siswa yang ekonominya menengah ke atas, artinya kaya dan memiliki penghasilan tetap, tidak terlalu menjadi persoalan. Lalu, bagaimana dengan siswa miskin? Masih berhakkan mereka duduk dibangku sekolah favorit?
Spertinya, kenyataan itu sudah tidak berlaku lagi. Siswa yang tidak mampu, lebih banyak harus sekolah ke lembaga yang tidak favorit, atau jauh dari tempat tinggal mereka. Bahkan, mereka yang tidak mampu, harus berskolah dilembaga pendidikan, untuk tidak mengatakan siswa tidak sekolah atau menjadi pengangguran.
Dari itu, anggaran 20 persen pendidikan dalam APBD dan APBN sudah dijamin secara legal dalam konstitusi kita. Namun, persoalannya, implementasi dari ketentuan normatif tersebut masih belum maksimal. Buktinya, harga pendidikan di Indonesia masih sangat tinggi. Itu disebabkan banyaknya pungutan-pungutan yang mencari kesempatan ditengah-tengah kebingunan orang tua siswa untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Kapankan pungut memungut itu akan berakhir? Wallahu A’lam
Ribuan orang tua siswa di Madura mengeluhkan mahalnya ”harga” Pendidikian. Sebab, meski muncul istilah bahwa tidak boleh ada siswa dikeluarkan gara-gara tidak memiliki biaya, namun tetap tidak menyurutkan harga pendidikan yang harganya kadung melambung tinggi.
Sejumlah lembaga pendidikan rupanya berlomba-lomba untuk menaikkan harga pendidikan. Dalih lembaga pendidikan (sekolah), untuk biaya pembangunan, membeli seragam serta keuangan lainnya. Bahkan, ada sebagian lembaga yang dengan sengaja menyediakan formulir khusus berisi tentang kesiapan orang tua siswa untuk membayar uang pembangunan. Dalam formulir tersebut, orang tua siswa ditawarkan akan berani membayar berapa untuk uang pembangunan.
Lebih Ironis, pengisian formulir dilakukan sebelum siswa benar-benar masuk sekolah. Selain itu, orang tua siswa masih disodorkan dengan uang seragam siswa. Besar kecilnya bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Sekolah memang beralasan hanya penawaran bukan paksaan. Tetapi, jika sekolah menyediakan, tidak mungkin orang tua siswa tidak akan membeli. Sebab, jika membeli diluar sekolah, khawatir tidak sama model dan bentuknya. Sehingga, wali murid dengan terpaksa harus membayar.
Salah satu contoh, di Madura, ada salah satu orang tua siswa. Dia terpaksa harus harus merongoh gocek hingga Rp 840 ribu untuk biaya daftar ulang dan uang pembangunan. Itu belum termasuk uang seragam yang dipatok untuk siswa baru. Bahkan, untuk biaya seragam, ada orang tua siswa harus mengeluarkan uang hingga Rp 1 juta.
Pertanyaannya, benarkan pendidikan gratis? Rupanya pertanyaan tersebut sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, nyaris tidak ada sekolah yang gratis atau tidak memungut dana apapun dari siswa, terutama terhadap siswa baru. Bahkan, dipastikan setiap lembaga meminta uang terhadap anak didiknya.
Bagi orang tua siswa yang ekonominya menengah ke atas, artinya kaya dan memiliki penghasilan tetap, tidak terlalu menjadi persoalan. Lalu, bagaimana dengan siswa miskin? Masih berhakkan mereka duduk dibangku sekolah favorit?
Spertinya, kenyataan itu sudah tidak berlaku lagi. Siswa yang tidak mampu, lebih banyak harus sekolah ke lembaga yang tidak favorit, atau jauh dari tempat tinggal mereka. Bahkan, mereka yang tidak mampu, harus berskolah dilembaga pendidikan, untuk tidak mengatakan siswa tidak sekolah atau menjadi pengangguran.
Dari itu, anggaran 20 persen pendidikan dalam APBD dan APBN sudah dijamin secara legal dalam konstitusi kita. Namun, persoalannya, implementasi dari ketentuan normatif tersebut masih belum maksimal. Buktinya, harga pendidikan di Indonesia masih sangat tinggi. Itu disebabkan banyaknya pungutan-pungutan yang mencari kesempatan ditengah-tengah kebingunan orang tua siswa untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Kapankan pungut memungut itu akan berakhir? Wallahu A’lam
KOMENTAR