Alm KH A Warits Ilyas KEPERGIAN ulama kharismatik Drs. K.H. A. Warits Ilyas, benar-benar telah membuat ribuan santri Pondok Pesant...
KEPERGIAN ulama kharismatik Drs. K.H. A. Warits Ilyas,
benar-benar telah membuat ribuan santri Pondok Pesantren Annuqayah,
Guluk-Guluk, Sumenep, merasa kehilangan. Bahkan, ribuan alumni dan masyarakat Madura
berduka. Mereka berbondong-bondang datang untuk mengantarkan janazah salah satu
pengasuh pesantren yang didirikan tahun 1887 oleh Kiai Muhammad Syarqawi dari
Kudus itu.
Ketika saya tiba di Annuqayah, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya
hanya duduk bersimpuh di sebelah janazah K.H. A. Warits Ilyas. Orang-orang yang
mau shalat janazah melihat saya seakan kaku. Tetapi, dari matanya terlihat
memerah. Mungkin saja juga tidak kuat menahan air mata.
”Abah meninggal dunia berkisar pukul 09.34 (22/2) di ruang ICU Rumah Sakit
Pamekasan,” kata Kiai Moh. ’Ali Fikri, putra almarhum K.H A. Warist Ilyas.
Di sebelah janazah beliau, saya seakan kembali berkomunikasi dengan tokoh
yang mendidik, membesarkan dan merawat saya dan ribuan santri lain sejak
1996-2007. Saya menjadi ingat saat pertama saya dipercaya menjadi wartawan di
salah satu media di Madura pada tahun 2008, saya langsung sowan pada tokoh yang dikenal dengan istiqomah itu.
”Alhamdulillah, kalau jadi wartawan, harus rajin menulis ya. Rajin
menulis, menulis, menulis dan menulis,” begitulah petuah almarhum yang tetap
terngiang di telinga dengan diucapkan berulang-ulang. Kala itu, saya bicara tentang media
lokal hingga nasional. Mantan anggota MPR RI itu memiliki pengetahuan cukup luas tentang media massa.
Seiring berjalannya waktu, saya tetap menjalin komunikasi dengan almarhum.
Baik sebagai santri maupun sebagai alumni yang menjadi wartawan. Suatu
kesempatan, dalam momentum pemilihan bupati dan wakil bupati mendekati. Saya
sowan kepada almarhum K.H. A. Warist Ilyas. Sebab, beredar isu di kalangan
santri dan masyarakat umum bahwa K.H. A. Warits Ilyas akan maju sebagai Bupati
Sumenep.
Namun, pada kesempatan langka ini, saya bertanya langsung
kepada almarhum tentang informasi tersebut. Jawaban K.H. A. Warist sungguh di
luar dugaan saya. Ini akan menjadi pelajaran bagi semua pemimpin sekarang. Dengan
penuh senyum, alhmarhum memberikan jawaban yang sangat logis dan mengagumkan.
”Menjadi pemimpin itu bukan sekedar kata. Tetapi amanah, amanah, amanah
(diucapkan berulang-ulang). Memang banyak yang meminta saya maju (menjadi bupati).
Cuma saya bilang, kesehatan fisik sudah tidak memungkinkan. Menjadi pemimpin
itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jabatan bupati bukan
main-main,” kata beliau.
Tanpa terasa, perbincangan di hari Jumat itu, sudah berlangsung lebih dari
4 jam. Kini, setelah beliau menghadap kepada sang penguasa alam, Allah, kita
tinggal melaksanakan amanah dan ajaran yang pernah ditanamkan. Kita barangkali
berduka, tetapi akan lebih terhormat ketika ajaran kebaikan yang pernah beliau
ajarkan, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah kemudian mengingatkan saya juga pada perbincangan dengan salah satu
staff anggota DPRD Sumenep. Saya sempat bertanya tentang almarhum K.H. A.
Warist Ilyas. Katanya, sampai hari ini masih belum ada anggota dewan yang bisa
meniru kedisiplinan mantan ketua DPC PPP tersebut. Ketika datang ke gedung
dewan, pasti tepat waktu dan pulang pun tepat waktu.
Pernah, ada demo besar-besaran ke gedung dewan. Sebagai wakil ketua DPRD, yang
dikenal disiplin itu, almarhum harus menemui sang demonstran. Menariknya,
demonstran yang mulanya marah-marah, tiba-tiba saat K.H. A. Warits Ilyas
menemui, semua demonstran menjadi diam dan langsung bersalaman mencium tangan
almarhum.
Emosi massa menjadi terkendali. Barangkali, semua demonstran merasa takut.
Apalagi, K.H. A. Warist yang dikenal banyak kalangan itu, tidak pernah
memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan pribadi. Dia adalah tokoh yang
tidak gampang memanfaatkan fasilitas negara. Tidak mudah memanfaatkan
kesempatan karena sedang menjadi anggota dewan yang kemudian memanfaatkan
segala yang ada.
Suatu ketika, beliau memiliki kepentingan ke Pasar Anom Sumenep. Jarak
antara pasar dengan gedung dewan, tak terlalu jauh. Sebagai wakil ketua DPRD,
tentu saja fasilitas berupa mobil dinas plus supirnya sudah ada dan siap
berangkat kapanpun dibutuhkan oleh Kiai. Namun, lagi-lagi, beliau tidak
memanfaatkan kesempatan itu.
Konon, kiai langsung menyuruh sopirnya ke Annuqayah, jarak Annuqayah-Kota
Sumenep berkisar 40 km, untuk menjemput mobil di kediamannya untuk kepentingan
pergi ke pasar. Beliau tidak berkenan menggunakan mobil plat merah ke pasar
karena kepentingan pribadi bukan kepentingan kantor. Mobil dinas yang
diletakkan di halaman parkir dewan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
Saya kemudian menjadi teringat dengan kisah Khalifah Umar bin Khattab R.A.
Menurut kisah yang saya tahu, suatu ketika khalifah kedatangan salah seorang tamu.
Namun, sebelum tamu tersebut berbicara panjang lebar, Khalifah terlebih dahulu
menanyakan maksud kedatangan tamu tersebut.
”Apa maksud kunjungan anda ke sini? untuk keperluan negara atau pribadi? Sesuai dengan niatan si tamu itu, maka menjawab, ”Aku
ingin berbicara mengenai hal pribadi kepadamu ya Amirul Mukminin,” kata
tamu tadi.
Setelah mendapatkan jawaban itu, Khalifah Umar langsung mematikan lampu.
Setelah dimatikan, tentu saja ruangan sang Khalifah menjadi gelap karena tidak
ada lampu penerang. Tamu tadi heran dan kaget. Lalu Umar berkata, ”Kamu datang
ke sini untuk berbicara masalah pribadi denganku, sementara saat kamu datang
aku sedang bekerja untuk kepentingan negara dan minyak dari lampu ini adalah
milik negara. Aku tidak pantas menggunakannya untuk kepentingan pribadiku,”
jelas Umar kepada sang tamu.
Barangkali ini berbeda dengan pejabat dan politisi saat ini. Bahkan, yang
terjadi sebalikannya, fasilitas negara dimanfaatkan sebaik mungkin demi
kepentingan pribadi. Lebih parah, fasilitas negara justru masih dikorupsi dan
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Alasannya, mumpung masih menjadi
pejabat, jika tidak menjadi pejabat tidak mungkin akan memanfaatkan fasilitas
negara. Bahkan, tidak sedikit kita menjumpai mobil dinas berada di tempat
wisata ketika hari aktif maupun di luar hari libur. Mereka bersama keluarga
besar.
Ya, saya sebagai masyarakat kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Jika harus
menegur mereka, tentu tidak akan diindahkan. Jangankan saya, undang-undang saja
yang telah melarang tidak diperhatikan, apalagi saya.
Akhirnya, kita semua hanya berharap semoga pejabat negara dan politisi
(minimal) bisa meniru akhlak tokoh kharismatik itu. Serban keistiqomahan akan
menjadi pelajaran yang akan terus dikenang dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Selamat jalan K.H. A. Warits Ilyas. Semoga amal ibadah beliau
diterima Allah dan diberikan tempat terbaik disisi-Nya. Amin. (*)
KOMENTAR