JUDUL itu, terinspirasi dari laporan berita ’ Estetika Dibalik Dhemar Korong ’ hasil liputan wartawan Suara Madura (SM), Ach Qusyairi Nuru...
JUDUL itu, terinspirasi dari laporan berita ’Estetika Dibalik Dhemar Korong’ hasil liputan wartawan Suara Madura (SM), Ach Qusyairi Nurullah. Ketika bulan haji, dalam berita itu, saat sanak famili datang dari tanah Suci Makkah, menjadi wajib menyambut dengan lampion. Tak heran jika warga menilai musim Dhemar Korong.
Di salah satu film di
Indonesia, juga muncul judul ’Tukang Bubur Naik Haji’. Judul-judul begitu
membuat saya menjadi tertarik untuk membuat tulisan tentang tradisi jamaah haji
terutama di Madura. Apalagi, di Madura, memiliki tradisi berbeda-beda di
masing-masing daerah dalam menyambut jemaah haji.
Suatu ketika saya pergi
ke Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Saya pergi ke
rumah saudara saya yang telah menetap puluhan tahun. Di daerah tersebut,
mayoritas penduduk adalah pendatang dari Jawa dan Madura. Meski bukan penduduk
mayoritas, tapi orang Madura selalu ada pada setiap kampung di wilayah yang
jalan desanya juga banyak tak beraspal itu.
Kepergian saya ke
daerah tambang Batu Bara itu karena ingin menyambut kedatangan paman saya yang
baru saja menunaikan ibadah haji di
tanah suci Makkah, rukun Islam ke lima. Namun, menariknya,
saya tidak menemukan penyambutan luar biasa seperti di Madura.
Saat keluarga tiba dari
tanah suci Makkah, tidak ada istilah
penyambutan dengan Dhemar Korong, tradisi hasil asimilasi China-Madura itu. Mereka
menyambutnya dengan biasa saja, tak harus ada sound system, konvoi kendaraai roda dua, dan suara petasan. Padahal,
disana sama-sama orang Madura tapi tak menerapkan tradisi yang nyaris riya’ itu.
Berbeda dengan Madura,
saat saya pulang ke rumah di Sumenep dari tempat kerja di Sampang, ketika musim
haji seperti sekarang sudah menjadi tradisi akan banyak kendaraan roda dua
menumpuk dipinggir jalan. Kadang saya bertanya, ada apa, mereka menjawab bahwa
menyambut kedatangan jamaah haji. Mereka menyambutnya dengan konvoi dengan
suara knalpot kendaraan senyaring-nyaringnya nyaris membengkakkan telinga.
Ketika malam hari,
lampion-lampion itu, hampir menyamai bintang bertebaran. Suara petasan yang
dilarang itu sudah terbiasa bunyi hingga hari ke tujuh. Mereka menyambutnya
untuk menghormati jamaah haji yang baru datang dari Makkah karena diyakini
diantar oleh 41 Malaikat. Malaikat dan jamaah haji disambut dengan petasan,
konvoi dan lampion?
Saya tidak akan
melarang mereka. Itulah hak mereka untuk berkreasi menyambut kedatangan jamaah
haji. Namun, huru-hara itu tak ubahnya dengan pamer diri. Esensi haji sebagai
penyempurna ibadah hampir berubah sebagai sarana rekreasi ke tempat bersejarah
Makkah.
Islam tidak melarang
mensyukuri nikmat atas kemampuan menunaikan Ibadah haji. Namun, jika bentuk syukur terlalu
berlebihan, jika tradisi menyambut jamaah haji dengan knalpot, konvoi, itu sama
halnya dengan riya’, membanggakan diri tanpa mau memahami kondisi orang lain.
Konvoi, pertama, sangat menganggu
terhadap lalu lintas kendaraan di jalan raya. Tak jarang akibat konvoi
menyambut jamaah haji membuat kemacetan ditengah jalan. Pengendara lain,
pejalan kaki, harus minggir ke pinggir jalan saat ada konvoi. Kendua, konvoi
itu dengan suara knalpot nyaring, membuat tetangga disekitar mengeluh, berisik, mengusik.
Penyambutan jamaah haji
dengan begitu tentu jauh dari esensi haji. Padahal, ketika Ihram sudah
digambarkan tentang hidup sederhana. Saat ihram, semua pakaian harus dilepaskan
dan ditinggalkan dan diganti dengan sehelai kain putih yang sangat sederhana.
Pakaian Ihram simbol ketaqwaan. Sehelai kain putih itu, terdiri dari kain katun
tak dijahit dan salah satunya harus dililitkan ke pinggang, mencapai kebawah
lutut, sedang yang lain disandangkan bebas pada pundak dan kepala dibiarkan
tidak tertutup.
Lalu, sesuaikah, sinergikah kesucian dan penyambutan
jamaah haji dengan tradisi itu? Semoga nanti
tidak akan ada lagi istilah baru, Musim Haji Dhemar Korong, Musim Haji Petasan atau
Musim Haji Knalpot. (*)
BUSRI TOHA
KOMENTAR