Patung Polisi, foto google POLISI memiliki jasa cukup besar terhadap rakyat . Begitu pula dosanya, nyaris sama besarnya denga...
Patung Polisi, foto google |
Saya
bukan polisi. Saya tak terlalu faham tugas-tugas kepolisian. Tapi, saya tahu
bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional
di Indonesia. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah
Indonesia. Saya pun mengerti bahwa
polisi harus jujur, dan polisi tak boleh menjadi pengemis dengan meminta uang
kepada siapapun, termasuk pengendara.
Dulu,
saya pernah bercita-cita ingin jadi polisi. Cita-cita saya itu, terinspirasi
karena ketika masih kecil, saat mau nyebrang jalan langsung diantar oleh
seorang polisi. Begitu pula, saya
melihat seorang kakek tua tak bisa nyeberang karena padat kendaraan. Tapi,
dengan bantuan polisi, akhirnya sang kakek bisa dengan mudah menyeberang. Semua
kendaraan berhenti.
Polisi
telah menanamkan pelajaran kepada pengendara bahwa pengendara harus menghormati
pejalan kaki. Memberikan kesempatan kepada orang yang lewat berjalan kaki. Kita
sendiri, seringkali meski ada orang yang akan lewat, kita ngebut dan
menyaringkan bunyi klakson agar orang itu, tak segera lewat sebelum pengendara
lewat didepannya. Sehingga, penjalan kaki harus berlama-lama menanti. Baru
kalau ada polisi menyetop, pengendara berhenti. Pejalan kaki bisa lewat. Terima
kasih polisi.
Namun, cita-cita saya pupus dengan kisah
seorang teman. Suatu ketika, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Lalu, dia
bercerita bahwa baru saja dicegat oleh polisi lalu litas. Kemudian ditanya
kelengkapan surat-surat kendaraan dan lain-lain. Karena tidak ingin
berlama-lama, dia langsung menyelipkan uang Rp 50 ribu. Ternyata betul, setelah
itu langsung diperkenankan berangkat kembali.
Begitu
pula cerita seorang supir kendaraan roda empat. Sang supir, setiap hari pasaran
sapi, membawa dagangan sapi. Namun, sebelum sampai ke pasar, pasti dicegat
polisi. Polisi mencegat sudah menjadi kewajiban untuk menertibkan lalu litas
dan surat-surat lain demi keamanan. Yang tidak wajib, setiap sopir selalu
menyiapkan uang Rp 20 ribu yang akan diberikan kepada polisi ketika mencegat.
Bagi
saya, bukan soal besar kecil uang yang diberikan oleh pengendara. Tetapi
martabat polisi yang tinggi, menjadi rendah akibat ulah dari beberapa oknum
aparat kepolisian yang mau menerima atau bahkan meminta uang sekecil itu. Hanya
ulah tak becus satu orang polisi, menjadi digenaralisasi. Dianggap semua polisi
sama.
Saya
kemudian menjadi teringat dengan kasus pembakaran maling di Kecamatan Dasuk dan
Rubaru Kabupaten Sumenep, beberapa waktu lalu. Apapun alasannya, membakar
manusia hidup-hidup tidak boleh. Bukan hanya alasan kemanusiaan, hukum, dan
Agama. Alasan apapun, tetap tidak boleh.
Ya
sudahlah, saya tak mau berdebat soal hukum pembakaran manusia. Tetapi, tindakan
warga itu menjadi bukti bahwa masyarakat suka main hakim sendiri. Padahal,
polisi sudah memberikan arahan. Tapi, mereka mengadili lalu memvonis. Mereka
mencerca dengan berbagai pertanyaan, lalu memvonis dan kemudian memberikan
hukuman; membakar hidup-hidup. Mereka tak lagi percaya bahwa ada hukum dan ada
penegak hukum. Mengapa masyarakat hilang kepercayaan kepada polisi sebagai
penegak hukum? Seharusnya, masyarakat menyerahkan kasus tersebut kepada penegak
hukum, polisi agar ditangani.
Dalam
konteks ini, saya tidak ingin memvonis masyarakat salah, tindak sama sekali. Begitu
pula tak mau menggeneralisasi polisi lalai menjalankan tugas. Namun, ini
menjadi catatan bahwa kepercayaan publik kepada aparat kepolisian mulai
berkurang. Kondisi kepolisian harus dibenahi. Jangan mengharapkan masyarakat patuh
kepada hukum selama penegak hukum menyepelekan hukum itu sendiri.
Semoga,
pernyataan Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akan salah. Mantan Presiden
RI itu pernah berkata, bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Tiga
polisi yang jujur itu, adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman
Santosa. Benarkah pernyataan Gus Dur itu? Barangkali ada benarnya, karena saat
ini sulit mencari polisi jujur di negeri ini. Kalaupun ada, langka dicari.
Polisi
Hoegeng memang dikenal dengan hidup sederhana dan jujur. Pria kelahiran 14
Oktober 1921 di Pekalongan ini, kisah-kisahnya
menyentuh dan menggetarkan hati polisi dan masyarakat. Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan.
Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikat oleh
mantan Kapolri tersebut. Luar biasa.
Untuk
itu, barangkali patut difahami dan dijadikan pelajaran bahwa ungkapan Gus Dur
bagian dari ajakan agar kepolisian berlapang dada menerima kritikan dan segera
berkemas membenahi institusi. Kesadaraan dalam satu institusi bahwa tugas
mengayomi dan melindungi bukan perkara mudah memang harus tertanam. Butuh
perjuangan dan pengorbanan.
Tidak
ada salahnya polisi membaur dan berdiskusi dengan masyarakat. Jadikanlah contoh
patung polisi dan polisi tidur yang tiada henti berjuang. Panas dan hujan,
dengan gagah patung polisi memberikan semangat agar pantang menyerah.
Polisi
tidur, tiada pernah lelah memberikan peringatan agar pengendara berhati-hati
dan pelan-pelan. Dia tak mau disuap, meski separuh dari polisi tidur retak. Patung
polisi juga tetap tegak, sebagi simbolis kegigihan dan ketangguhan. Polisi tak
perlu menyulap diri menjadi patung atau polisi tidur. Cukuplah memiliki nurani
kebangsaan demi masa depan Indonesia lebih baik. (*)
KOMENTAR