MENGHALALKAN segala cara demi mencapai tujuan tertentu, tidak halal. Ketidakhalalan ini sering terlupakan. Akibatnya, ingin kaya mendad...
MENGHALALKAN segala cara demi mencapai tujuan tertentu, tidak halal.
Ketidakhalalan ini sering terlupakan. Akibatnya, ingin kaya mendadak, ingin
mendapatkan pengakuan kilat, ingin menjadi tokoh terkenal tanpa proses. Ingin
menjadi orang hebat dan berwibawa secara instan. Tanpa melalui proses dan perjuangan.
Bagi saya, tidak ada cara instan dan mudah. Semua harus melalui proses dan
perjuangan panjang. Perjuangan tentu tak akan mulus. Selalu ada rintangan dan
halangan. Jika tanpa rintangan bukan perjuangan namanya.
Mungkin, kita masih ingat kepada proklamator Islam, Nabi Muhammad. Sebelum
menjadi Nabi dan dipercaya penguasa alam sebagai utusan Allah, Muhammad melalui
rintangan dan berbagai ujian yang tidak mudah.
Mulai dari jadi pengembala kambing, pedagang, hingga berperang melawan
musuh-musuh kaum kafir. Menjadi pengembala kambing, barangkali tak pernah
terjadi pada pemimpin kita di negeri ini. Memang, tidak perlu harus menjadi
begitu dan bertindak demikian. Sebab, kita seringkali lebih tinggi rasa gengsi
dibandingkan dengan realitas diri yang membutuhkan. Tapi, paling tidak bisa meniru
semangat Muhammad dalam berjuang sebelum menjadi tokoh dunia yang disegani.
Ya begitulah, semua tidak bisa instan. Butuh proses dan perjuangan. Setiap
perjuangan butuh pengorbanan. Allah SWT dalam ajaran Islam telah menjanjikan
bahwa dalam setiap kesulitan akan datang kemudahan. Setiap ada kesukaran akan
tiba kemudahan (QS al-Insyiraah:5).
Tentu, kemudahan itu datang tidak
secepat membaca tulisan ini. Sekali lagi, butuh perjuangan yang cukup panjang.
Saya teringat dengan kisah Imam Ibnu Hajar, ’Anak Batu’. Ibnu Hajar Al Asqalani,
dilahirkan pada 22 sya’ban 773 H, memiliki semangat belajar luar biasa.
Meski dia seorang anak yatim piatu, tak mematahkan semangat Ibnu Hajar. Ayahnya
meninggal ketika Ibnu Hajar masih berumur 4 tahun dan ibunya menghadap Ilahi ketika
tokoh hadis ini masih balita.
Namun, setelah cukup umur, meski dilahirkan dipinggiran Sungai Nil Mesir,
tak menyurutkan semangat untuk belajar. Beliau pun mengikuti proses belajar
mengajar di salah satu Madrasah. Singkat cerita, setelah bertahun-tahun, beliau
masih tetap menjadi murid terbodoh di kelas itu. Semangat pun mulai kendor. Akhirnya,
dia berhenti dan pamitan kepada sang guru untuk pulang dan tidak belajar lagi
di Madrasah.
Dalam perjalanan pulang, hujan cukup lebat. Sehingga dia pun harus
berhenti dan berteduh disalah satu gua. Saya tidak tahu apa nama guanya. Ketika
dalam gua Ibnu Hajar dikejutkan dengan tetesan air pada batu secara terus
menerus. Akibat tetesan itu, batu menjadi berlubang. Ibnu Hajar pun berfikir,
batu keras jika ditetesi air secara terus menerus, istiqomah, konsisten bisa
berlubang. Kerasnya batu bisa dihancurkan hanya dengan tetesan air. Otak
manusia tak sekeras batu. Lalu, dia kembali lagi ke Madrasah dengan kobaran
semangat baru.
Luar biasa, perjuangan Ibnu Hajar untuk meraih kesuksesan bukan dengan
jalan mulus. Kini dengan karya lebih dari 280 kitab, bukan hasil dari plagiat
tetapi murni dari perjuangan tiada henti. Hasil karyanya masih tetap dibaca
hingga saat ini. Di pesantren-pesantren, selalu menjadi rujukan seperti Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, al
Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, Bulughul Marom min Adillatil
Ahkam, dan lain-lain.
Ini kemudian mengingatkan saya pada pemberitaan di Kompas, 24 Agustus 2011
silam. Dalam berita itu, seorang guru besar di republik ini terbukti melakukan
plagiat. Menyedihkan. Saya tidak akan berbicara soal guru besar yang mampu
menulis puluhan buku dalam jeda waktu lima tahun itu.
Namun, penting diketahui bahwa mendapatkan pengakuan sebagai tokoh,
penulis, ulama dan ahli-ahli dalam bidang-bidang tertentu bukanlah mudah. Bagi
saya, siapapun yang ingin menjadi tokoh harus memberikan contoh baik. Salah
satunya menerapkan sifat kejujuran. Kejujuran adalah kunci mencapai kesuksesan.
Plagiat adalah tindakan ketidakjujuran.
Tak jauh beda dengan persoalan korupsi yang telah masuk pada semua ranah
di negeri ini. Semua itu, karena kejujuran tak lagi menjadi pegangan dan
prinsip. Jujur pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jujur
memang sulit dilakukan dan gampang diucapkan.
Dialog Nabi Muhammad dengan Setan ketika ditanya tentang orang yang paling
dibenci oleh Setan, Setan menjawab Nabi Muhammad, pemuda bertaqwa, orang alim
dan orang yang selalu bersuci. Lalu, kadang saya berfikir, Setan lebih jujur
dari manusia.
Ungkapan terus terang dan blak-blakan dihadapan Nabi Muhammad, merupakan
bagian dari bentuk kejujuran Setan. Termasuk, permintaan akan mengganggu
manusia selama hidup kepada Tuhan, adalah kejujuran Setan.
Atau barangkali setan harus turun tangan membimbing dan mengajari koruptor
tentang arti kejujuran. (*)
OLEH: BUSRI TOHA
KOMENTAR