MEMBINCANG soal korupsi seakan tak pernah tuntas. Selalu menarik dan aktual. Padahal, saya ingin mengakhiri pembicaraan korupsi karen...
MEMBINCANG soal korupsi seakan
tak pernah tuntas. Selalu menarik dan aktual. Padahal, saya ingin mengakhiri pembicaraan
korupsi karena terlalu melukai nurani bangsa ini. Tapi, jika ditutup dan tidak
didiskusikan lagi, justru bisa jadi
kita kehilangan solusi.
Mungkin anda
juga sudah bosan. Setiap saat selalu mendengar, membaca berita, melihat atau
bahkan melakukan tindak korupsi. Karena koruptornya belum juga bosan menjarah
uang rakyat, maka tidak boleh bosan pula berbicara atau memperjuangkan demi pemberantasan
korupsi.
Apalagi, baru 9
Desember 2013 kemarin, Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) diperingati. Semua
masyarakat Indonesia diajak untuk memperingati HAKI. Berita-berita lokal dan nasional mengajak
masyarakat desa untuk berjihad melawan koropsi.
Masyarakat desa
yang tidak pernah tahu istilah korupsi, juga diajak memperingatinya. Sebab,
soal korupsi bukan hanya tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi
semua elemen masyarakat berkewajiban memberantas koropsi.
Rakyat desa
tidak boleh menggerutu. ”Saya tidak tahu korupsi, hanya tahu soal mencangkul
dan bertani, tapi disuruh ikut bertanggung jawab. Tak logislah,” gerutu salah satu warga desa setelah menonton
berita demonstrasi HAKI.
Bapak atau Ibu
warga desa yang terhormat. Bukan begitu maksudnya. Ikut bertanggung jawab dalam
artian bahwa warga desa harus ikut menegur terhadap atasan jika terindikasi
korupsi. Bila terindikasi ada pejabat negara melakukan tindakan menyalahi
undang-undang, silahkan ditegur. Begitu sederhananya.
***
Ya begitulah
warga desa. Mereka memang benar-benar jujur dan tidak tahu soal uang milliaran
rupiah. Tak mengerti soal kasus Hambalang, Simulator SIM di institusi Polri, tidak tahu masalah korupsi yang merugikan uang Negara trilliunan rupiah. Mereka hanya tahu
penjualan hasil panen mahal. Ingin harga sembako murah, jalan diperbaiki. Tidak
rusak sebagaimana terjadi di pedesaan selama ini. Itu saja yang mereka mengerti dan inginkan. Meski mereka
tidak tahu harapan itu kadang hanya menjadi angin lalu ditelinga pejabat, tetap
saja berharap. Seperti harapan hampa.
Saya memiliki
seorang teman. Dia berprofesi sebagai kuli bangunan, lahan dan lain sebagainya. Kerja serabutan.
Setiap pagi, dia berpindah-pindah lahan untuk mencangkul ladang milik tetangganya.
Pekerjaan itu, dia lakukan dan tekuni. Ketekunan akan memperoleh barokah.
Setiap pukul
07.00 WIB, dia sudah sepakat dengan sang pemilik lahan akan memulai bekerja. Kebiasan
warga di Madura, terutama di desa saya, pekerja datang lebih awal dibandingkan
dengan pemilik lahan. Namun, bagi teman saya itu, malah selalu mengulur waktu. Pukul
07.30 baru tiba di lokasi. Kebiasaan itu terus menerus dia lakukan.
Bagi saya, bukan
persoalan kebiasaan dan biasa dimaafkan. Bukan masalah mencuri waktu sebentar.
Sebab, sebentar atau lama, tetap namanya mencuri waktu. Kebiasaan kecil akan
menjadi kebiasan lain yang lebih besar jika terus dibiarkan tanpa ada
perubahan. Perubahan dari diri sendiri maupun system.
Kita ambil
contoh yang lebih besar lagi. Kepala desa, kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT),
anggota dewan, bupati, pejabat dan lain-lain. Mereka awalnya hanya mencuri
sesuatu yang kecil. Misal, pembuatan KTP, masih saja harganya ditambah
dibandingkan dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Penambahan harga
tidak besar. Kadang hanya Rp 1000, Rp 5 ribu hingga 100 ribu per KTP, misalnya.
Toh, warga yang membuat KTP juga tak mungkin rugi atau protes jika hanya
dipotong Rp 1000. Ini kebiasan kecil pula. Tetapi kalau sampai 20 ribu KTP, wah itu
benar-benar menambah penghasilan. Kebiasaan kecil dengan penghasilan besar.
Ya begitulah
barangkali soal korupsi ini selalu menarik dibicarakan. Ibarat sebuah berita.
Setiap berita memiliki nilai berita (news value). Nilai berita
terdapat unsur waktu (timeless), luas akibat (impact) dan
termasuk unsur kedekatan (nearness).
Nilai berita
berupa kedekatan, merupakan letak tempat atau kejadian. Dekat dengan pembaca
dan kedekatan keperluan atau kepentingan pembaca. Pembaca akan lebih tertarik
membaca berita-berita yang ada kedekatan dengannya.
Kita bisa
mengambil contoh, dalam satu media terdapat berita tentang kasus korupsi di Jakarta. Tetapi,
pada berita daerah, kepala desa dituduh menjarah uang rakyat. Maka, pembaca,
minimal di wilayah desa itu, akan lebih tertarik membaca terlebih dahulu soal
korupsi kepala desa itu.
Barangkali begitu
pula dengan soal korupsi. Menjadi hangat dan menarik diperbicangkan karena
mungkin sudah ada kedekatan pada semua lapisan masyarakat. Korupsi merajalela mulai
dari tingkat pimpinan tertinggi hingga tingga desa. Dari organisasi mahasiswa
hingga kumpulan sarwah. Dari organisasi professional hingga organisasi tahlilan.
Semua terjangkit korupsi. Subhanallah…!
Kita terlalu
mesra dengan korupsi. Kita terlalu bangga dengan korupsi. Kadang kita dengan penuh bangga
bercerita telah mengkorupsi uang rakyat. Memamerkan kebanggaan diri karena berhasil dan tak
diketahui secara hukum. Seakan hebat dan top. Padahal, dibalik kebanggaan itu,
menyisakan luka pada jutaan rakyat Indonesia. Dibalik kemesraan dan senyum
bahagia karena berhasil mengemplang uang rakyat tanpa ada yang tahu, telah ”melinggis”
nurani bangsa Indonesia. (*)
OLEH BUSRI TOHA
KOMENTAR