”Pendidikan adalah bekal terbaik untuk hari tua” BARANGKALI , ungkapan Aristoteles (384 SM), seorang filsuf dari Yunani itu, me...
”Pendidikan adalah bekal terbaik untuk
hari tua”
BARANGKALI, ungkapan Aristoteles (384 SM), seorang filsuf dari Yunani
itu, memberikan inspirasi kita untuk terus belajar dan belajar. ”Janganlah
berputus asa. Tetapi jika anda sampai berada dalam keadaan putus asa,
berjuanglah terus meskipun dalam keadaan putus asa” tambah murid Plato itu.
Ya, begitulah. Semua tak boleh putus asa. Islam pun melarang berputus asa.
Kondisi apapun harus berupaya survive, bertahan sekaligus lebih maju. Sebab,
Tuhan pasti memberikan ujian kepada hamba-Nya sesuai dengan batas kemampuan manusia
itu sendiri (QS al-Baqorah:286). Kondisi lembaga pendidikan yang semrawut, tak
mesti dibiarkan karena putus asa tidak memperoleh bantuan pemerintah.
Pemerintah bukanlah pemuas rakyat, tetapi mereka harus bernurani.
Saya bersedih ketika melihat perkembangan lembaga pendidikan di pedesaan.
Siswa-sisiwa usia sekolah, belum bisa mengenyam pendidikan layak sebagaimana
siswa di perkotaan.
Jika siswa di perkotaan dilengkapi dengan fasilitas memadai, di pedesaan justru
sebaliknya. Siswa sekolah bersepatu pun jarang ditemui. Bukan maksud mengajak
pembaca terjebak pada formalitas membosankan, berseragam dan bersepatu. Tetapi,
itu menjadi indikasi bahwa pendidikan desa dan kota timpang.
Siswa di perkotaan boleh membaca buku sepuasnya. Di desa, siswa memiliki
buku saja bisa dihitung jari. Siswa di perkotaan bisa menghabiskan waktu di
ruang Perpustakaan, di pedesaan jangankan buku, ruang perpustaan, untuk tidak
mengatakan tidak ada, masih harus numpang di ruang guru.
Ya begitulah realitas pendidikan di pedesaan. Tapi, lagi-lagi siswa tak
boleh putus asa meski kondisi gedung sekolah memprihatinkan. Belajar tak ada
kaitannya dengan gedung sekolah. Namun, kenyamanan belajar atau mengikuti KBM,
sangat ditentukan oleh fasilitas dan gedung memadai. Bukan atap sekolah bocor
dan berlantai debu.
***
Saya teringat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Saya
tinggal di pedesaan tak jauh dari Kota Sumenep, Rubaru. Waktu itu, setiap pagi
saya pasti menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan sekolah. Mulai dari seragam
rapi, hingga rambut disisir dan diberi minyak goreng, agar terlihat baru
selesai mandi. Risik.
Ketika sampai di sekolah, teman-teman siswa banyak yang tak berseragam.
Bahkan, rambut mereka masih acak-acakan. Barangkali, saya berfikir, mereka
sedang lupa pergi ke dapur mengambil minyak goreng untuk kemudian diratakan ke
rambutnya. Atau mungkin di dapur, orang tua sedang tak punya minyak goreng. Ada
pula, jangankan menggunakan sepatu, memakai sandal saja sudah untung. Bahkan, sandal
selingkuh pun mereka gunakan. Bukan sandal selingkuh yang ngetren beberapa
waktu lalu. Tapi sandal kocar kacir karena tak ada alas kaki lain.
Setiap hari di sekolah kenyataan itu menjadi biasa. Seakan menjadi
kebenaran. Kesalahan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebenaran yang
semu. Teguran dari guru tak digubris. Sebab, ekonomi orang tua siswa memang
pas-pasan. Guru pun enggan selalu menegurnya.
Kondisi itu hingga kini rupanya masih terus berlangsung. Bahkan siswa di
desa selalu pulang lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Pukul 10.00 WIB,
siswa sekolah di desa sudah bisa ada di rumah bersama keluarga atau orang tua. Dulu
waktu saya sekolah begitu, sekarang juga masih berlaku.
Itu semua sangat berbeda ketika saya mengunjungi sekolah perkotaan, dekat
dengan pemerintah kabupaten. Siswa di perkotaan bukan menggunakan minyak goreng
untuk menyisir rambutnya. Tapi minyak yang tren masa kini. Tak ditemukan siswa
perkotaan dengan sandal selingkuh. Tak mendapatkan pula siswa pulang sebelum
pukul 12.00 WIB.
Saya benar-benar sulit mendapatkan siswa-siswa ”berseragam” dengan
bermacam-macam warna baju maupun celana. Sama sulitnya menemukan siswa tak
bersepatu di perkotaan.
***
Realitas tersebut semestinya menjadi cambuk bagi pemerintah daerah.
Indonesia sebagai negara demokrasi, rakyat memiliki hak sama dalam mengenyam
pendidikan. Siswa desa memiliki hak sama dalam dunia pendidikan. Pendidikan
sebagai bekal hari tua, kata Aristoteles, akan menjadi pesan moral bahwa sarana
pendidikan di semua level, kecamatan, kota hingga pedesaan tidak boleh ada
perbedaan. Siswa desa harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan siswa di
perkotaan.
Ketika hak yang sama sudah dapat dinikmati oleh semua warga negara,
pendidikan sebagai bekal hari tua akan benar-benar menjadi harapan dan impian
yang terbangun.
Sarana pendidikan sangat penting untuk menunjang kemajuan suatu
pendidikan. Guru tak boleh gegabah sewenang-wenang dengan memulangkan siswa
sebelum waktu pulang. Sebab, guru bukanlah dewa dan murid bukanlah kerbau, kata
Soe Hok Gie.
Semoga tidak ada lagi siswa sekolah menggunakan sandal jepit kocar kacir.
Kanan warna hitam, kiri coklat. Semoga pula, tidak ada lagi siswa miskin tak
bersekolah. Mereka adalah saudara kita, Indonesia Raya. (*)
Oleh: BUSRI TOHA
KOMENTAR