Ketimpangan persoalan pendidikan selalu manarik untuk diperbincangkan. Mulai dari fasilitas pendidikan yang tak memadai hingga ge...
Ketimpangan persoalan pendidikan selalu manarik untuk diperbincangkan. Mulai dari fasilitas pendidikan yang tak memadai hingga gedung sekolah yang seperti kandang sapi. Kelayakan sebuah lembaga pendidikan hingga guru yang tak konsisten mengajar, atau pun guru dan kepala sekolah yang merangkap jabatan. Itulah mungkin yang menjadi daya magnet pendidikan selalu menarik untuk dikritisi.
Daya magnetis lain ketika berbicara masalah pendidikan adalah perbandingan
antara pendidikan di desa dan kota. Persoalan pendidikan ini boleh jadi tak
terlalu terasa di wilayah perkotaan. Karena jelas pendidikan di kota lebih maju
dibandingkan dengan di pedesaan. Itu terjadi akibat pengawasan instansi terkait
yang lebih ketat. Barangkali pula, fasilitas yang diberikan terhadap lembaga
pendidikan di wilayah kota lebih lengkap dibandingkan dengan yang ada di
pedesaan.
Ketika berada di perkotaan, siapapun barangkali akan sulit menemukan
lembaga pendidikan yang hancur tak diperbaiki hingga puluhan tahun. Praktisi
pendidikan pun tak akan menemukan guru merangkap jabatan sebagai kepala
sekolah. Bahkan, sulit menemukan pula guru mangkir dari tugasnya sebagai
pendidik. Barangkali.
Namun, ketika mengaca kepada wilayah yang ada di pedesaan, realitas
bobroknya pendidikan akan diketahui. Saya yang lahir di Desa Basoka, Kecamatan
Rubaru, Sumenep, benar-benar merasakan dan bahkan melihat dengan nyata dikotomi
pendidikan antara desa dengan kota.
Sewaktu saya masih duduk dibangku sekolah dasar, sejumlah fasilitas
sekolah terbilang seadanya. Perpustakaan sekolah, hanya berisi beberapa buku
cerita saja. Bahkan, untuk papan tulis, siswa harus urunan untuk itu. Belum lagi
gedung sekolah, yang waktu itu nyaris ambruk. Tapi, sekarang sudah diperbaiki.
Dalam pemikiran saya, itu barangkali tempo dulu, tapi sekarang sudah
berubah. Nyatanya, dugaan saya salah. Prediksi saya sangat tidak sejalan dengan
realitas yang ada dilapangan. Terbukti, masih ditemukan gedung lembaga
pendidikan berpuluh-puluh tahun rusak dan dibiarkan. Jika siswa di perkotaan
dapat menikmati pendidikan dengan fasilitas memadai, di wilayah pelosok desa
siswa harus menikmati pendidikan yang serba terbatas.
Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang 45, seluruh bangsa Indonesia
berhak mengenyam pendidikan maksimal. Tanpa terkecuali. Baik di wilayah
perkotaan maupun pedesaan. Undang-undang tersebut, semua sudah tahu, tidak
hanya diamanatkan kepada warga di perkotaan tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia
yang ada di bawah.
Dalam amanat undang-undang sudah jelas bahwa 20 persen anggaran dari APBN
untuk pendidikan. Anggaran dana 20 persen tersebut bukan untuk warga negara di
perkotaan saja, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang akan bersekolah. Etah
kenapa pemangku kebijakan lebih mengutamakan pendidikan diperkotaan dan cenderung
abai terhadap pendidikan di pedesaan. Padahal, jika negeri ini ingin maju harusnya
di pedesaan diberdayakan.
Semua sudah tahu, bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana. Tujuannya, demi menciptakan suasana
belajar
dan proses pembelajaran kondusif serta peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Namun, ketika
fasilitas tak memadai, maka potensi diri akan sulit untuk dikembangkan.
Siswa akan sulit
mengembangkan potensi diri dalam kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan ketika fasilitas yang dimiliki, fasilitas
yang ada didalam lembaga pendidikan tak diperhatikan.
Inklusi, bersiaplah
menerima kehancuran, dekadensi, chaos, keterpurukukan, dan segala makian tak
terperi untuk negeri ini. Jika jantung dan urat nadi negara (pendidikan) tak
lekas didenyutkan keseluruh tubuh. Atau barangkali para pemimpin secara segaja membidik
pendidikan di desa dengan amunisi ketimpangan? Buka matamu, sadarlah. Lekas!
Busri Toha
Busri Toha
KOMENTAR