KETIKA adzan pertama dik u mandangkan sebagai tanda masuknya fajar kidzib , saya hanya pergi ke kamar mandi untuk membuang air kecil ...
KETIKA adzan pertama
dikumandangkan sebagai tanda
masuknya fajar kidzib, saya hanya
pergi ke kamar mandi untuk membuang air kecil (ber-seni). Setelah itu, masuk
kamar memperbaiki selimut dan tidur lagi, bukan mengambil wudlu dan
melaksanakan qiyamul lail, shalat
tahajjud.
Beberapa menit kemudian, muadzin kembali mengumandangkan adzan sebagai
tanda masuknya Fajar shodiq, waktu
Subuh tiba. Pada adzan kedua ini, Muadzin sebelum mengkhiri, menambahkan
kalimat Ashsholatu Khoirum Minannaum
sebanyak dua kali sebagaimana dilakukan Bilal pada masa Rasullah, yang berarti
Shalat lebih baik daripada tidur. Tetapi meski tahu itu, tetap saja saya
memperbaiki selimut untuk tidur. Tidak bersegera menunaikan Shalat. Rutinitas
males yang membosankan.
Suatu ketika, saya mengambil al-Quran terjemahan, saya baca kalimat
perkalimat, terutama yang berbahasa Indonesia. Kecuali dalam keadaan terpaksa,
baru membaca bertuliskan Bahasa Arab, bukan dalam rangka ingin faham maksud
dari kandungan al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu, tetapi lebih
karena ingat kata seorang guru di Annuqayah dulu, bahwa orang yang membaca
al-Quran walau tidak tahu maknanya akan mendapat pahala dari Allah.
Hikmah dari ketelitian membaca, saya menemukan kalimat ”Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”' (QS. An-Naba': 9). Ah,
seorang teman mengaku memiliki alasan untuk tidak shalat subuh. Bangun
(sengaja) kesiangan. Iya, ayat itulah dijadikan alasan dan akal-akalan. Tidur
adalah untuk istirahat. Tidak shalat subuh karena istirahat menjadi alasan
kuat. Sudah bekerja seharian dan kelelahan. Butuh rileks.
Lalu, saya membantah. Saya mencoba memutar kembali record ketika tinggal di Pesantren Annuqayah dulu. Bagi saya. bukan
alasan tepat untuk membenarkan tidur ketika waktu shalat Subuh. Meski saya
masih terbiasa bangun kesiangan. Mungkin termasuk anda..! Kata pak ustadz di
Annuqayah, shalat subuh merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap
muslim beriman. Mungkin, tidur berlebihan karena terbuai oleh nikmatnya tidur
sehingga mencari alasan untuk membenarkannya.
Lalu saya bercerita, waktu tinggal di pesantren dulu, saya adalah santri
paling rajin shalat subuh dan paling malam bangun ketika teman-teman santri
yang lain masih terlelap dalam mimpi indah. Sok alim. Padahal, saya bangun
sepertiga malam waktu di pesantren dulu karena takut pada tongkat pukulan
keamanan pengurus pesantren sehingga terpaksa bangun agak malam. Menyebalkan.
Saya tidak bercerita tetang itu. Hanya saya menyampaikan cerita kesungguhan
saya dan dalam menunaikan ibadah subuh.
Waktu itu, saya punya keinginan besar untuk bangun subuh dan
melaksanakan shalat subuh serta bangun di sepertiga malam atau bahkan lebih awal seperti ulama yang
tidak pernah bosan bertahajjud meski cuaca dingin di musim penghujan sekarang. Sebab, waktu
itu sangat istijabah. Konon, kala itu, Karunia-Nya turun; Maghfirah-Nya datang,
dan Kasihsayang-Nya menyelimuti hamba yang menengadah, memohon dan meminta
dengan ikhlas.
Sepertiga malam bagai terminal kehadiran hikmah-Nya. Siapa yang datang di
“terminal” itu, kata saya, akan dikabulkan doanya. Akan terkabulkan setiap
permohonan. Keinginan tanpa usaha, sama halnya dengan bohong. Tidak akan
mendapat hikmah-Nya. Sebab, keinginan yang kuat tanpa dibarengi dengan usaha
sungguh-sungguh, sama halnya dengan orang yang ingin minum air kelapa tetapi
tidak pernah berusaha untuk memanjat pohonnya.
Saya teringat dengan Imam Syafie, Imam Al-Ghazali, dan kadang ingat pula
pada kiai politisi sekarang. Ketika ingat tokoh-tokoh dan ulama masa lalu. Saya
memiliki obsesi bahwa saya dan teman saya itu bisa bangun malam dan bermunajat
dalam sujud ketika sepertiga malam terakhir.
Tetapi, ketika saya teringat dengan kiai politisi, semua itu menjadi lupa.
Karena komunikasi yang dilakukan hanya persoalan politik, politik erat
kaitannya dengan uang. Uang dan uang. Kadang menyebalkan meski tak bisa
mengelak bawah semua butuh uang. Uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh
uang.
Saat sedang bersama dengan kiai yang politisi, saya menjadi lupa tentang
waktu fajr kidzib itu, bahwa setiap
permohonan akan dikabulkan yang Maha Kuasa. Misalnya, mohon ampun atas segala
dosa yang pernah dilakukan, maka jika meminta ampun dengan ikhlas dan berniat
tidak mau mengulanginya lagi akan dipenuhi Allah. Urusan dunia pasti akan
dikabulkan selama Allah menghendaki. Waktu seperti tiga malam, luar biasa.
Saya kembali diingatkan oleh hadis Qudsi, Allah berfirman bahwa pada saat
sepertiga malam terakhir bagi siapa yang bermunajat kepada-Nya akan dikabulkan,
yang memohon ampun akan diampuni, yang berdoa akan dikabulkan.
Akhirnya, Allah SWT menjanjikan kedudukan terpuji bagi mereka yang
mendirikan sholat tahajud (QS. Al-Israa': 79). Jika seseorang tidak tidur waktu
subuh hingga waktu dhuha (matahari sepenggalan naik) dengan membaca
amalan-amalan yang telah diannjurkan Nabi, maka Allah akan memberikan
keberkahan besar pada hamba yang melakukan itu.
Allah, Kau Maha Kekal, Kau Maha Pintar, Kau Maha Kreatif, Kau Maha Cerdas,
Kau Maha Pencipta, Kau Maha Mengetahui, Kau adalah Maha di atas semua hamba
yang memiliki titel maha, seperti “maha” siswa atau “maha” raja. Kau adalah
Maha atas segala “maha”. Kita tidak salah selalu berharap ampunan atas segala
kelengahan. Kita tak boleh membiarkan diri terperosok pada lalulintas
keterpurukan. (*)
KOMENTAR