PERSOALAN pendidikan tetap akan menarik untuk diperbincangkan dan akan menjadi sorotan publik yang selalu aktual. Apalagi sistem pend...
PERSOALAN pendidikan tetap akan menarik untuk
diperbincangkan dan akan menjadi sorotan publik yang selalu aktual. Apalagi
sistem pendidikan kita acapkali mengalami perubahan setiap tahun, walau pada
kenyataannya masih saja menampakkan bahwa pendidikan kita jauh dari cita-cita
yang kita inginkan. Ddalam perjalanannya,
pendidikan kita terseok-seok seperti negeri yang baru merdeka. Bahkan yang
lebih memprihatinkan, hasil kajian-kajian menunjukan bahwa kwalitas pendidikan,
terutama di kepulauan Madura, amat jauh berada dilevel bawah dibandingkan
dengan daerah-daerah lain.
Melemahnya kwalitas pendidikan masyarakat Madura tidak terlepas
dari pengaruh sistem pendidikan nasional, di mana sistem pendidikan nasioal
jauh dari akar budaya. Pada gilirannya, anak didik sebagai generasi yang
diharapkan menjadi suri tauladan didaerahnya, terasing dari lingkungan
masyarakatnya sendiri. Pendidikan yang tidak berlandaskan kebudayaan akan
menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri.
Anak didik pandai di negeri orang, tetapi bodoh di negeri sendiri.
Realitas tersebut merupakan implikasi dari perubahan
sistem pendidikan kita yang hanya mengandalkan pada silabus yang mengarah pada
satu sistem pendidikan dan tidak berlandaskan pada kebudayaan, itu akan
menghasilkan anak didik yang mekanik seperti mesin, serta manusia-manusia yang orientasi pemikirannya
pada kerja, bukan pengetahuan.
Dengan kata lain, sistem pendidikan kita memberi kesan
bahwa kesuksesan sebuah proses pendidikan hanya terletak pada satu instrumen
teknis-operasional, yakni kurikulum.
Lembaga pendidikan yang tidak mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan oleh
pusat (Mendiknas) maka proses pendidikan yang dijalankan akan mengalami
kegagalan. Sehingga masyarakat Madura yang beragam dan agamis serta lebih
mengedepankan nilai-nilai kebudayaan disulap menjadi masyarakat yang lupa pada
akar budayanya. Tak jarang orang Madura yang tidak tahu bahasa Madura. Tidak
sedikit putra-putri Madura yang tidak mengerti kebudayaan Madura. Bahkan ada
yang merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri.
Selain sistem pendidikan tersebut menghasilkan anak didik
yang melupakan kebudayaannya sendiri, yang lebih parah, justru anak didik
cendrung bersikap individualis. Nilai-nilai budaya yang mengandung semangat
kebersamaan sesuai dengan substansi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa secara
menyeluruh berubah haluan menjadi manusia yang berorientasi kerja. Bersekolah dan berkuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan,
bukan menjadi manusia terdidik yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spritual.
Dari itu, sistem pendidikan yang hanya bergantung pada
satu instrumen tersebut, atau lebih tepatnya disebut dengan sistem pendidikan
individual itu, tidak akan mampu mencerdaskan dan mengangkat derajat masyarakat
Madura khususnya dan bangsa secara menyeluruh. Hal tersebut menjadi faktor
utama, karena sistem pendidikan yang dihasilkan selama ini hanya berangkat dari
konsep segelintir orang yang cendrung meniru pola pikir dari barat bukan dari
hasil pengamatan dan penelitian terhada budaya, terutama di Madura.
Pendidikan Berbasis Kebudayaan
Berlandaskan uraian yang dihasilkan dari pengamatan dan
kajian-kajian di muka, sudah semestinya kita memiliki trobosan-trobosan
pemikiran strategis yang lebih mengedapankan nilai-nilai kebudayaan. Memang,
model yang akan kita laksanakan akan tetap mengacu pada sistem pendidikan
nasional dalam aspek pengembangannya, namun tetap mengoptimalkan dan menghargai
ruang-ruang kebersamaan seperti belajar kelompok sehingga kecerdasan kognitif,
afektif, dan psikomotorik dapat dimiliki bersama-sama serta anak didik pun
tidak hanya memiliki kemampuan kognitif belaka yang mengarahkan pada sikap
individualis.
Dengan lain kata, meskipun mencontoh sistem pendidikan
nasional, akan tetapi direalisasikan dengan kreativitas yang tidak sama, sebab
ekplorasi yang dikembangkan yaitu belajar bersama dan menjadi guru secara
besama-sama sehingga ada taken for grantede diantara mereka. Hal ini
akan menggugah peserta didik untuk terus belajar dan saling mengisi serta akan
dapat menghilangkan kecendurungan putus asa (frustasi) yang sering kali terjadi
pada anak didik, terutama, yang belum dewasa.
Sistem ini, tentu saja tidak mengharuskan merubah secara
total terhadap kurikulum yang telah dikembangkan selama ini. Sebab titik
masalahnya bukan terletak pada kesalahan kurikulum nasional yang dibuat oleh
segelintir orang, akan tetapi hilangnya akar kebudayaan seperti nilai-nilai
kebersamaan yang natural dalam belajar serta pengarahan pada satu instrumen
oprasional yang menggiring peserta didik pada sikap individualis.
Dari itulah, sudah saatnya budaya-budaya lokal dihargai,
ditata ulang, dicairkan, dan dirajut kembali. Hanya dengan berlandaskan
mekanisme dan trobosan-trobosan tersebut yang bisa mendorong peserta didik pada
prilaku kolektif sesuai dengan cita-cita substansial pendidikan. Pada capaian
berikutnya, dialektika tersebut dapat mengantarkan peserta didik berbenah diri
dan meningkatkan sumber daya manusianya.
Tanpa mengoptimalkan pendidikan yang berbasis kebudayaan
tersebut, anak didik kita akan kehilangan rasa sosialnya dan akan terus semakin
jauh dari masyarakatnya sendiri. Dan penataan ulang terhadap sistem pendidikan
yang lebih mengarah pada budaya tersebut membutuhkan sumbangan pemikiran dari
semua pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan. (*)
BUSRI TOHA
KOMENTAR