AKAR politik adalah kekuasan. Kekuasaan tak akan diraih sebelum menjadi politisi. Tak bisa menjadi politisi jika tak memiliki kekuatan da...
AKAR politik adalah kekuasan. Kekuasaan
tak akan diraih sebelum menjadi politisi. Tak bisa menjadi politisi jika tak
memiliki kekuatan dan pengaruh. Tak berguna memiliki pengaruh jika tak memiliki
kekayaan harta. Sebab, harta adalah jembatan. Harta bukan segala-galanya, tapi
segalanya butuh harta.
Semua berlomba-lomba
mengumpulkan harta untuk meraih kekuasaan. Ingin membayar rakyat, membeli suara
ketika Pemilu. Padahal, pondasi dari harta adalah ilmu. Berharta tapi tak
berilmu akan pincang. Kini, kaum intelektual menang. Mereka pun lupa jika
intelektual tak berdaya ketika dihadapkan dengan harta. Tetapi mending
ketimbang diatur harta.
Namun semua
itu akan runtuh karena keberuntungan. Allah SWT telah menggariskan dan
menentukan siapa makhluk Tuhan yang akan beruntung. Kekuatan pengaruh,
intelektualitas dan kekayaan harta akan sirna jika tak beruntung. Tak ubahnya
kekuasaan adalah keberuntungan.
Begitulah kira-kira, pendapat
saya tentang politik.
Mungkin politisi berpendapat lain, semisal dasar dari politik adalah
keadilan, sosial dan kesejahteraan untuk masyarakat. Semua sah-sah saja. Toh
nyatanya begitu. Namun, kita harus berbaik sangka bahwa pada akhirnya akan bermuara
pada perjuangan untuk bangsa. Demi rakyat Indonesia. Meski kadang harus nyeleweng
dan menyelewengkan hak rakyat. Mengkhalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Selama ini, meski saya bukan
politisi, tapi sering berkumpul dan berdiskusi dengan beberapa politisi di
daerah. Menjelang akhir jabatan anggota dewan, beberapa anggota dewan memiliki
persepsi tentang politik. Kata mereka, dalam dunia politik terdapat empat hal
penting orang bisa meraih kekuasaan.
Pertama orang beruntung. Mereka yang beruntung
tidak membutuhkan usaha terlalu ruwet. Atau dalam istilah agama
Islam, memang sudah takdir dari ilahi. Salah satunya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Bagi saya, SBY menjadi presiden RI ke 6 bukan karena dia
adalah mantan jendral. Sebab, banyak Jendral lain yang lebih hebat dan lebih terkenal dibandingkan dengan SBY.
Jika dipandang dari
sisi intelektual,
SBY tentu bukan orang terpandai di Negeri ini. Justru, banyak yang lebih pintar
dan cerdas dibandingkan dengan SBY. Bukan pula karena SBY memiliki cita-cita
jadi Presiden. Tapi, kata orang Madura, Mun
pangatero padheh, tape pangaro se tak padheh (kalau keinginan tentu sama,
tetapi pengaruh yang tidak sama). Itulah bentuk keberuntungan SBY dalam
politik. SBY luar biasa.
Kedua orang kaya. Orang kaya menempati posisi
ke dua setelah orang beruntung. Sebab, orang kaya bisa menduduki tahta tertinggi
dalam politik. Sebab, dengan kekayaan itu, bisa membeli apa saja demi mencapai
kekuasaan dalam politik. Salah satu contoh, Aburizal Bakri, dia termasuk orang
kaya. Pengusaha, sehingga untuk meraih kekuasaan, bisa membeli apa saja sebagai
kendaraan meraih tujuan yang ingin dia capai.
Namun, cita-cita dia tidak akan pernah tercapai
meski dengan berbagai cara jika tidak beruntung. Keberuntungan atau takdir tak
bisa direkayasa oleh siapapun. Jika Tuhan telah mentakdirkan seseorang untuk
menjadi penguasa, siapapun tidak bisa menghalangi. Halangan manusia hanyalah
jembatan antara untuk meraih kekuasaan lebih tinggi dalam politik.
Sedangkan posisi ketika adalah orang kuat. Orang kuat saya letakkan
pada posisi ke tiga. Bagi saya, orang kuat atau orang berpengaruh jika tidak
beruntung tak bisa meraih keinginan itu. Begitu pula jika tidak ditopang dengan kekayaan harta, kekuatannya atau
pengaruhnya akan lemah.
Saya katakan demikian, karena zaman sekarang
berbeda dengan tempo dulu. Jika dalam Pemilihan Legislatif, misalnya, orang
kuat akan dikalahkan oleh mereka yang kaya harta. Apalagi, semua orang sudah
tahu bahwa masyarakat masa kini lebih memilih mengabdi kepada orang kaya
dibandingkan dengan kiai berpengaruh tapi tak berduit.
Coba lihat saja, jika misalnya terdapat tokoh
masyarakat berpengaruh tapi miskin, lalu disandingkan dengan orang kaya dan
berduit. Maka masyarakat pasti akan mencium tangan keduanya. Lalu siapa
sebenarnya yang harus dihormati? Bingung dech.
Warga lebih menghormat kepada kekayaan harta dibandingkan dengan kharisma. Iya
mereka tidak salah. Wong sekarang memang semua butuh duit. Meski tidak semua
harus dengan duit.
Sementara posisi terakhir kaum intelektual.
Posisi ke empat ini karena kaum intelektual bisa mendapatkan harta dari orang
kaya, bisa berpengaruh dengan kekuatan intelektualnya. Saya memang sengaja
menempatkan kaum intelektual dalam posisi terakhir karena selama ini, warga
tidak terlalu menghormat kepada kaum intelektual bila tak berharta, tak
berpengaruh, dan apalagi tak beruntung.
Intinya, kesombongan adalah
hak Tuhan. Manusia tak berhak sombong. Semua telah digariskan oleh yang kuasa.
Manusia hanya wajib berusaha dan berjuang. ”Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Luqman :18). ”Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang menyombongkan diri” (QS. An Nahl: 23).
Barangkali, cukuplah setan
yang sombong dengan tidak mau bersujud setelah penciptaan manusia. Kita sebagai
manusia tidak perlu ikut-ikutan menjadi setan. Negeri ini akan jadi apa jika
semua penguasa beralih status menjadi setan, menjadi murid dan belajar dari
setan. Penjarah, sombong dan tak bisa mengendalikan diri. (*)
OLEH: BUSRI TOHA
KOMENTAR