foto google.co KEMULIAAN dan kesenangan menjadi sulit dibedakan. Keluhuran dan kekayaan nyaris tiada beda. Kita lebih senang menc...
foto google.co |
KEMULIAAN dan kesenangan menjadi sulit
dibedakan. Keluhuran dan kekayaan nyaris tiada beda. Kita lebih senang mencari
kekayaan bukan kebaikan. Kita lebih suka mencari ketenaran bukan
keluhuran budi. Kekayaan dianggap
kebaikan meski jalan yang ditempuh melampaui
keluhuran.
Seorang buruh tani, pagi-pagi sudah
mempersiapkan segala kebutuhan bekerja. Tugasnya, sesuai dengan permintaan dari
sang pemilik lahan, majikan. Majikan
kadang meminta untuk menanam padi,
membersihkan rumput hingga mengangkut pupuk kandang ke ladang.
Setelah sampai di lahan pertanian, sang buruh tani tidak langsung istirahat. Pupuk
kandang yang dipangku di pinggul dengan tertatih-tatih itu, harus ditabur ke
lahan pertanian. Mulai dari pagi hingga
sore dia tak berhenti bekerja. Menaburkan pupuk itu
dengan telaten hingga tuntas. Dia hanya istirahat beberapa menit saja. Termasuk ketika
waktu shalat, dia dibolehkan istirahat sejenak.
Mungkin saja, waktu istirahatnya sang buruh ini nyaris sama
sebentarnya dengan orang shalat. Ketika selesai sujud dan akan berdiri lagi, Mushalli diperkenankan duduk istirohah. Iya, cukup sebentar.
Namun, dengan penuh sabar, sang buruh tani ini bekerja. Seakan lahan
itu, adalah milik dia. Dia dengan tertatih-tatih bekerja di ladang milik tetangganya.
Dia tak mempedulikan bahwa ongkos yang akan diterima nanti hanya Rp 10 hingga
Rp 20 ribu. Itu pun kadang dihutang oleh sang pemilik
lahan. Nunggu tanaman hingga panen.
Uang sekecil itu, dia akan peruntukkan
menafkahi anak dan istri. Ongkos kecil dia tidak mempedulikan. Uang itu akan dibelikan beras untuk makan anak dan istri.
Meski kecil, si buruh hanya berfikir, kewajiban menafkahi keluarga harus terpenuhi dari hasil keringat sendiri. Bukan dari hasil menjarah atau
mengkorupsi.
Andaikan si buruh tani ini mau bekerja dengan lebih mudah,
gampang mendapatkan uang, mudah mencari keuntungan, sebenarnya cukup menjadi
pencopet atau maling. Bekerja tidak terlalu sulit tetapi kekayaan akan mudah
didapat.
Saya kadang teringat dengan para pejabat negeri ini. Tak
sedikit di antara mereka harus mendekam di penjara. Setelah namanya tenar dan
terkenal se antero Indonesia. Kekayaan menumpuk seakan cukup tujuh turunan,
tapi ternyata harus menikmati kekayaan itu di penjara.
Seorang pemimpin di tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi bahkan negeri kebanyakan keturunan dari kiai, priyai hingga raden.
Mereka sangat mengerti tentang jalan yang benar dan salah. Jalan ke samping
hingga jalan serong. Ketika menjadi pejabat dan namanya tenar, dia sangat
dihormati dan disegani. Sebagai pemimpin dia menjadi sangat terkenal dan budi
pekertinya dianggap sangat luhur.
Titah dan perintahnya dianggap sebagai kebaikan. Ketika ada
kesalahan, hanya dianggap sebagai khilaf dan cukup minta maaf. Namun, ketika
lepas dari jabatan yang dipangku. Kekayaan hasil ngemplang uang rakyat tidak
lagi menjadi mulia. Lalu dimanakah sebenarnya letak keluhuran dan kebaikan itu?
Ada pada kekayaan harta hasil dari menjarah uang rakyat atau pada kejujuran
nurani? Semua menjadi absurd.
Suatu ketika, saya berdiskusi dengan soerang teman.
Berdiskusi tentang kemuliaan dan kejujuran. Kata teman saya ini, ”Pejabat
negara harus memiliki kejujuran dan mengayomi semua kepentingan masyarakat.
Pejabat negara tidak boleh ngemplang uang rakyat. Jika gaji kecil, jangan
sampai menjarah uang rakyat,” katanya dengan berapi-apai.
”Kekayaan adalah tuntutun mereka. Jika mereka tidak kaya,
khawatir dikucilkan oleh rakyat. Sehingga kejujuran mereka gadaikan. Bahkan,
andaikan mereka tidak digaji, tidak akan mau menjadi pejabat negara. Tidak mau
melamar menjadi pegawai negeri sipil,” kata saya.
”Betul sekali. Tetapi dalam tugas mereka ada nilai
pengabdian. Mereka mengabdi untuk bangsa ini. Jika sewaktu-waktu berbohong
tetapi demi kebaikan adalah boleh. Pejabat negara adalah jabatan mulia. Ada
nilai pengabdian dan ada nilai perjuangan untuk menafkahi anak istri” timpal
teman saya tadi.
”Iya, pekerjaan mereka sangat mulia. Jika tujuan hidup adalah
untuk mengabdi, maukah anda menjadi buruh tani? Buruh tani mengabdi kepada Ilahi.
Tuhan pencipta alam dan isinya. Pekerjaan mereka sangat mulia di mata Allah
untuk menafkahi anak dan istri. Lalu, siapa yang lebih mulia antara buruh tani
yang tidak kaya, muka keriput, keringat membasahi sekujur tubuh dibandingkan
dengan pejabat negara yang kaya raya dari hasil
menjarah uang rakyat, berbaju necis, sepatu mengkilap? ” kata saya.
Semua menjadi hening. Diam membisu. Diskusi menjadi beku.
Seakan berada di dalam kulkas. Tidak ada yang bicara. Mereka seakan tak berkehendak
menjadi buruh tani.
Kita seringkali meremehkan tukang bakso, penjual kacang
keliling yang tiap malam mengelilingi kampung, penjual rujak keliling, penjual
pentol, penjual es keliling. Kita sering kali melupakan mereka padahal mereka
hanya mencari untung Rp 500 hingga 1000 rupiah untuk menafkahi anak
istrinya.
Bahkan, kadang kita dengan mudah menggusur Pedagang Kaki Lima
(PKL) atas nama undang-undang hingga anak tukang bakso asal Sampang meninggal
dunia karena ditumpahi air bakso saat bertengkar dengan petugas beberapa tahun
silam di Surabaya.
Hormat menghormati dalam perbedaan usaha menjadi sulit
ditemukan. Sebab dituntut dengan kekayaan. Kapitalisme sudah masuk ke semua
ranah. Sehingga, ingin memperoleh kekayaan dengan cara mudah dan gampang. Tak
mau susah dan tak mau dengan kesulitan. Semua ingin serba instan.
Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa ”Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan” (QS. Alam Nasyroh: 5-6).
Inilah kemudian, Saya berfikir bahwa pekerjaan si buruh tani sangat mulia di mata Allah SWT.
Sebab, dia tidak hanya untuk mencari kesenangan dan
kekayaan harta semata demi kepentingan diri sendiri. Dia mencari
nafkah untuk anak istri.
Memang sangat jarang pemuda sekarang bercita-cita mencari
kemuliaan. Mereka lebih suka mencari kekayaan dengan mudah dibandingkan dengan
kemuliaan dan keluhuran budi. Harta adalah hal utama dengan cara apapun.
Mereka tidak mencintai pekerjaan ini dengan alasan kuat bahwa
orang yang hanya mencari kemuliaan tidak akan mendapatkan kekayaan. Kemiskinan
akan rawan kekufuran, sesuai dengan pesan Nabi. Padahal, mungkin mereka lupa,
bahwa kekayaan bisa membuat orang lupa diri. Sombong dan dengki jika benteng
diri lemah apalagi kekayaan dari hasil mengkorupsi. (*)
OLEH BUSRI TOHA
KOMENTAR