www.google.co.id SUATU ketika, ada seorang warga datang kepada s aya. Kedatangan tetangga dekat ini untuk meminta pandapat atau petuah ...
www.google.co.id |
SUATU ketika, ada seorang warga datang kepada saya. Kedatangan tetangga dekat ini untuk meminta pandapat atau petuah tentang anaknya yang baru lulus
SMA/MA. Tetangga yang berprofesi sebagai petani ini berencana akan mengkuliahkan
anaknya.
Di desa saya, sudah menjadi biasa jika seseorang akan menyekolahkan
atau memberangkatkan anaknya ke pondok pesantren, pasti akan meminta pertimbangan kepada kiai, tokoh
masyarakat atau kepada siapapun yang ditokohkan dalam
satu desa.
Permintaan pertimbangan kepada seseorang
yang ditokohkan adalah keharusan. Ketika tidak meminta pertimbangan, maka akan
dicibir oleh tetangga yang lain. Dianggap sok tahu dan dinilai sudah mau
melebihi kiai. Istilahnya, ”oma taoh”, kata orang Madura.
Mereka datang ke kiai
untuk meminta waktu atau hari baik
pemberangkatan. Meski mereka sudah tahu bahwa semua hari
adalah baik. Sebab, semua hari adalah ciptaan Allah SWT. Tapi, mereka tetap tidak mempedulikan. Mereka tetap meminta petunjuk kepada sangkiai itu.
Yang penting, jika mau
bebergian untuk mencari ilmu harus meminta petuah terlebih dahulu. Sebab, warga
ketika berangkat tidak tepat harinya akan membawa sial. Jika dia mencari ilmu
mondok di pesantren, akan tidak kerasan di pesantren atau ada hal lain yang
tidak mengenakkan bagi orang tua si anak tersebut.
Namun, kali ini bukan
untuk meminta ketentuan waktu sebagaimana orang akan memondokkan anaknya ke pesantren. Tetangga saya ini, justru niat
mengkuliahkan anaknya ke lembaga Perguruan Tinggi.
”Jika anak saya kuliah,
apakah nanti setelah kuliah akan mendapatkan pekerjaan? Apakah tidak akan
menjadi petani seperti saya? Jika nanti setelah lulus hanya akan
seperti saya sebagai petani, maka tidak perlu
kuliah,” katanya memulai pertanyaan kepada saya di teras rumah malam hari itu.
Mendapatkan pertanyaan
begitu, saya tidak langsung menjawab. Saya
terdiam membisu. Fikiran melayang. Jika berkuliah hanya untuk orentasi bekerja
bukan untuk mendapatkan tambahan ilmu, rupanya tidak perlu
kuliah.
Bagi saya, kuliah adalah untuk mencari ilmu bukan untuk pekerjaan. Memperkokoh
ilmu yang telah didapatkan di bangku SMP atau SMA. Soal nanti setelah berkuliah atau setelah di
wisuda mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan, adalah soal lain yang tidak ada kaitannya dengan kuliah. Bahkan, ada orang meraih kesuksesan
secara ekonomi, menjadi pengusaha justru tidak lulus kuliah.
Saya benar-benar kebingungan untuk menjawab
pertanyaan ini. Jika dijawab dengan menggunakan logika, pasti akan menolak.
Sebab, saya tahu bahwa dia bertanya bukan karena butuh jawaban yang logis
tetapi karena memang sudah percaya dengan jawaban apapun yang akan diberikan saya.
Namun, jika saya menjawab bahwa nanti tidak
akan mendapatkan pekerjaan dan hanya menjadi pengangguran seperti kebanyakan S1
sekarang. Tentu anaknya tidak akan diberi ijin untuk berkuliah.
”Insya
Allah, nanti putra sampean
setelah lulus kuliah akan mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan
lumayan bagus. Soal apakah nanti akan menjadi petani, yang penting petani yang
bermanfaat,” jawab saya dengan santai.
Barangkali, jawaban saya yang tidak masuk
akal ini dan saya bukan para normal, sangat manjur. Terbukti, anaknya langsung
dikuliahkan dan diperbolehkan masuk Perguruan Tinggi. Ya, sudahlah yang penting
anaknya bisa kuliah. Soal nanti mau jadi apa dan lain-lain, saya tidak ngurus. Sebab tujuan kuliah bukan untuk
bekerja atau mencari pekerjaan tetapi mencari ilmu. Jika hanya untuk mencari
pekerjaan, bukan di kampus atau pesantren, tetapi mencari di bursa lowongan
kerja.
Memang, belakangan persepsi masyarakat di
Madura mulai berubah. Jika dulu seorang ustadz akan menjadi rebutan para orang
tua perempuan untuk dijadikan menantu. Tetapi kini sudah tidak lagi. Justru
para ustadz dikucilkan jika hanya bermodalkan sorban dan pandai baca kitab
kuning. Ustadz harus memiliki pekerjaan mapan dengan penghasilan tetap dan
menjanjikan.
Jika tidak memiliki kemapanan ekonomi, bisa
jadi seorang ustadz tidak dipedulikan oleh masyarakat. Ya, modal pandai membaca
kitab kuning sudah dianggap klasik dan tidak menjadi jaminan untuk
kesejahteraan. Barangkali begitu sikap masyarakat sekarang yang lebih melihat
materi untuk memperoleh kesejahteraan.
Menjadi seorang ustadz yang menguasai kitab
kuning, meski dihormati, namun secara diam-diam sudah dianggap kampungan, kuno,
ketinggalan, dan sulit mencari penghasilan yang memadai. Sehingga, bisa saja
pandangan masyarakat sekarang ini sudah menganggap bahwa meski pandai dalam
ilmu agama, tak perlu menjadi seorang ustadz. Yang penting kepandaian,
kepintaran dan pendidikan, bisa menghasilkan uang nantinya untuk bertahan hidup
dan lebih kaya dari orang tuanya.
Lantas, apa bedanya dengan politisi yang
pandai menghasilkan uang? Pikirku. (*)
Oleh BUSRI TOHA
KOMENTAR