REKREASI ke tempat-tempat wisata, baik wisata religi maupun wisata alam, sangat saya suka. Meski tak mewajibkan diri dalam waktu-waktu...
REKREASI ke tempat-tempat
wisata, baik wisata religi maupun wisata alam, sangat saya suka. Meski tak mewajibkan
diri dalam waktu-waktu tertentu, tetap saya menyukai dan memastikan selalu
mencari lokasi wisata. Menariknya, ketika di lokasi wisata, kadang tidak ingin
segera pulang atau pindah ke tempat lain. Ingin rasanya berlama-lama. Tapi,
kadang waktu yang membatasi sehingga tak bisa tinggal terlalu lama.
Di tempat wisata, pamandangan
begitu indah membuat mata sejuk memandang. Pemandangan di lokasi wisata baik di
pantai pesisir, pegunungan, makam-makam wali (wisata relegi), selalu membuat
hati jauh lebih tenang. Bisa rileks. Bisa menghilangkan kejenuhan setelah lima
hari dihadapkan pada rutinitas yang menuntut berfikir keras, cerdas dan
profesional.
Kita memang tidak
mungkin akan bekerja secara terus menerus. Apapun pekerjaannya. Bekerja butuh waktu
rileks agar tak begitu jenuh. Dengan rileks, kecerdasan bisa bertambah.
Rekreasi bisa menjadi sumber inspirasi. Inspirasi pada pekerjaan yang menuntut
kreatif.
Iya begitulah, dalam pekerjaan butuh
istirahat. Saya memang orang yang paling tidak setuju dengan istilah kerja,
kerja dan kerja. Hidup tidak hanya untuk bekerja, tetapi butuh istirahat.
Jangankan hanya pekerjaan yang bersifat duniawi, dalam shalat saja yang
bersifat ukhrawi, masih ada istilah istirahah.
Duduk istirahah adalah duduk setelah selesai sujud dalam shalat dan akan
berdiri lagi.
Ya, semua memang butuh istirahat. Istirahat
bukan berarti tak memiliki optimisme. Optimis bukan identik dengan orang yang
tanpa istirahat bekerja secara terus menerus. Manusia bukan robot. Pada diri
manusia ada pikiran, rasa dan emosi sehingga butuh refreshing. Sama halnya
dengan orang yang akan bepergian. Misalnya, saat akan pergi ke tempat wisata
yang jauh, pergi ke Jakarta dari Madura, pergi ke Kalimantan atau perjalanan lain,
semua butuh istirahat. Tanpa istirahat, pikiran akan menjadi penat dan tentu
saja akan memusingkan kepala.
Suatu ketika, saya pergi ke salah satu lokasi
wisata, di Madura sendiri. Di lokasi itu kadang juga ada lelah jika terlalu
lama. Lalu, saya mendekat ke tempat orang yang sedang berjualan degan plus es
manis. Sehingga, bisa melepaskan dahaga saat panas menyengat, bisa menambah
stamina saat badan sedang lelah.
Selesai minum, sebelum membayar, tanya berapa
harga terlebih dahulu. Waw, harga tiga kali lipat dari harga biasa di tempat
wisata. Sudah di makan, tak bisa ditawar, harus bayar. Mungkin mereka berfikir
bahwa orang yang berwisata banyak uang. Sistem tawar menawar dalam jual beli
tak berlaku. Sebab, barang sudah digunakan dan tak mungkin dikembalikan.
Kasus semacam ini, harga lebih mahal hingga
tiga kali lipat, terjadi di sejumlah lokasi di Indonesia. Baik di tempat wisata,
bus, kapal, pesawat ataupun di terminal. Lebih-lebih di terminal, pusat
kendaraan hingga pusat manusia yang akan bepergian. Semua ada di terminal.
Barang-barang di terminal harganya jauh lebih mahal dibangdingkan dengan lokasi
lain.
Agar tidak kecolongan harga dalam membeli barang,
ada dua tips yang bisa digunakan ketika akan membeli barang saat di terminal.
Barang dagangan yang dijual di terminal ditawar lagi separuh dari harga yang
ditawarkan oleh penjual. Kadang, penawaran separuh masih belum mencukupi, sebab
seringkali harga barang dikalikan tiga. Umumnya, orang Madura enggan menawar
lagi karena sudah di terminal, barang masih ditawar. Padahal, tidak ada
salahnya ditawar.
Selain itu, glagat seolah-olah tidak ingin
membeli wajib digunakan juga. Jika pedagang mau memberi separuh harga, itu
berarti harga barang hanya sepertiga dari harga awal yang ditawarkan oleh
pedagang. Dalam kondisi demikian, posisi pembeli sedikit tega menawar harga
tiga kali lipat lebih murah dari harga yang ditawarkan pembeli.
Sebenarnya kasus tega menawar dengan lebih
murah, tidak hanya terjadi dalam soal jual beli di terminal, tetapi dalam
kasus-kasus korupsi, sistem tega memang harus digunakan. Pejabat negara
melakukan korupsi uang rakyat, karena sudah tega merampok urang rakyat demi
kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Dia tega menjarah uang fakir miskin
yang ada di Indonesia.
Anehnya, ketika sang koruptor telah
dipenjara, rasa empati muncul dimana-mana. Kalau rasa kasihan hanya disampaikan
dalam bentuk kunjungan ke tempat dia dipenjara, barangkali tak terlalu jadi
persoalan. Tetapi, yang paling parah justru ingin melindungi dan menghalangi
dengan berbagai alasan dan bukti agar tidak dianggap korupsi. Agar dikeluarkan
dari penjara. Agar terbebas dari tuduhan korupsi.
Rasa kasihan dan tidak tega boleh dan harus
dimiliki dalam setiap diri warga negara. Tetapi melindungi perbuatan yang
merugikan masyarakat banyak, maka tak jauh beda dengan pelaku itu sendiri. Satu
sisi kita harus belajar tega. Ya, tega tak berarti tak memiliki nurani. Seperti
ketika kita tega menawar di terminal, kita harus tega pula menghukum sang korup.
Semoga kita termasuk orang-orang yang
dilindungi Allah dari perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa dan Negara. (*)
Oleh: BUSRI TOHA
KOMENTAR