body { font: normal normal 12px 'Roboto', sans-serif; color: #000000; background: #FFF none repeat scroll top left; } .header-button { display: block; height: 60px; line-height: 60px; background: #010048; }

Jurus Klasik Kampanye

Transaksijual beli suara tidak akan pernah menyejahterakan rakyat. Komitmen membangunkeutuhan bangsa adalah kewajiban setiap bangsa berdara...


BELAKANGAN, mesin politik masing-masing partai politik (Parpol) semakin digerakkan dan dipanaskan. Persaingan antara calon legislatif terus memanas. Bagai bara api dalam sekam tetapi sudah keluar dan berkobar. Berbagai cara untuk meraup suara rakyat dilakukan hingga lupa jalan halal dan menjalankan praktek haram (membeli suara).
            Beberapa hari lalu, saya berjalan-jalan menyusuri rumah-rumah warga. Terutama orang tua atau pemuda yang memiliki hak memilih, sesuai dengan undang-undang. Berbagai perbincangan diantara masyarakat sempat saya rekam dalam otak dan mencoba memberikan pemahaman. Kesimpulan sementara, masyarakat beranggapan bahwa pesta demokrasi (Pemilu) adalah pesta rakyat menerima uang dari caleg atau Parpol pengusung caleg tersebut.
            Kesimpulan sementara ini barangkali tidak terlalu keliru. Sebab, selama ini memang rakyat sulit mendapatkan kesejahteraan. Janji politik tahun-tahun sebelumnya tidak terbukti. Jalan rusak tetap saja tak diperbaiki. Ekonomi kerakyatan hanya menjadi jargon belaka. Yatim piatu dan anak terlantar tetap dibiarkan.
Kenyataan itulah, membuat masyarakat apatis terhadap Pemilu. Sehingga tidak heran jika muncul istilah, jika tidak ada uang tidak akan memilih. Alasannya cukup sederhana, karena ketika terpilih kelak sebagai wakil rakyat tidak benar-benar mewakili rakyat tetapi mewakili diri sendiri, famili atau golongan Parpol saja.
Suatu ketika, saya jalan-jalan lagi ke salah satu kampung dan banyak berkomunikasi dengan warga. Dalam perjalanan, saya melihat banyak sekali spanduk dan baliho bertebaran di pinggir jalan. Baliho itu berisi gambar caleg plus dengan parpol pengusung. Ada yang menggunakan penyangga berupa batang bambu. Yang menarik perhatian saya, justru ada yang langsung di paku pada pohon.
Saya tidak akan menekankan bahwa itu sudah melanggar undang-undang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 tahun 2013 tentang aturan pemasangan atribut kampanye, termasuk larangan memasang baliho di pohon. Pasal 17 Peraturan KPU Nomor 15/2013, menyebutkan alat peraga kampanye tidak ditempatkan di rumah ibadah, rumah sakit, gedung pelayanan kesehatan, gedung pemerintah, sekolah, jalan protokol, sarana prasaran publik, taman dan pepohonan.
Petanyaannya, mengapa saya tidak akan menekankan pada larangan PKPU itu? Sebab, saya yakin bahwa semua caleg sudah mengerti tentang makna menghargai lingkungan, alam, dan pepohonan. Saya hanya tidak habis pikir, mengapa pohon yang ”tidak mengerti apa-apa” harus menjadi korban dengan di paku sedemikian rupa!
Siapapun, akan mengerti bahwa pohon adalah makhluk Tuhan. Suatu saat, saya bertemu dengan anak kecil. Waktu itu, saya mencoba akan membunuh semut yang berseliweran di emperan rumah anak kecil itu. ”Mas, jangan di bunuh semut itu. Kasihan, semut itu juga punya keluarga,” kata anak itu kepada saya.
Saya terkaget-kaget mendengar jawaban anak itu. Semua makhluk diciptakan berpasang-pasang, bukan hanya makhluk bernama manusia. Makhluk lain pun memiliki pasangan. Hati manusia akan sakit ketika pasangannya disakiti. Pohon adalah makhluk Tuhan.
Kita memang tidak tahu karena tidak tampak apakah pohon itu berpasangan atau tidak. Tetapi jika berpasangan, dan diibaratkan kepada diri kita sendiri, apakah tidak sakit jika harus mengalami penderitaan karena dipaku oleh caleg karena hanya ingin nampang itu? ”Wallahu’aimun bidzatis sudur (Allah jualah yang mengetahui semua yang mempunyai hati)” kata KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
***
Ketika sampai di perkampungan itu, beberapa warga berkumpul. Bukan karena kedatangan saya, tetapi memberikan penghormatan kepada tamu yang datang adalah keharusan. Penghormatan yang luar biasa. Mungkin saja, mereka berprinsip siapapun tamu yang datang, selama datang baik-baik, harus dihormati.
Seperti biasa, musim pesta demokrasi seperti sekarang ini, pembicaran tidak lepas seputar Pemilu Legislatif. Masing-masing diantara mereka membicarakan caleg A dan caleg B. Partai C dan Partai D. Mulai dari karakter caleg, latar belakang pendidikan, nilai perjuangan yang dilakukan selama ini, hingga seputar bagi-bagi uang. Semua mengalir bak air di sungai.
”Saya tidak akan memilih jika tidak ada uangnya,” begitulah celetuk yang saya dengar dari perbincangan mereka. ”Sebab, ketika mereka terpilih kelak, toh akan lupa juga kepada kita. Janji hanya janji, tak pernah ditempati. Lebih baik ambil sekarang uangnya,” imbuh orang tadi.
Dalam konteks ini, mereka atau masyarakat secara umum tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tidak bisa menilai bahwa masyarakat telah terjebak dengan politik praktis. Munculnya politik transaksional (jual beli suara) karena memang diajarkan oleh pelaku politik sendiri. Sadar atau tidak, itu pelajaran yang diterapkan lama kepada masyarakat. Masyarakat dininabobokan dengan janji dan menebar uang. Misalnya, janji memperbaiki jalan tetapi nyatanya tidak terbukti. Janji menyejahterakan rakyat, tetapi buktinya rakyat tetap sengsara.
Pada waktu yang hampir mendekati 9 April 2014 ini, saya hanya ingin menggugah semua kalangan baik politisi maupun rakyat, yang selalu menjadi objek dalam politik agar sadar dan menyadari, bahwa politik transaksional atau mony politic bukan pendidikan politik yang mencerdaskan.
Masyarakat bukanlah objek politik. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Masyarakat (setidaknya pandangan saya) tidak akan mau satu suara hanya dihargai uang receh puluhan ribu tetapi kemudian hari terus dilupakan dan ditinggalkan. Hak hidup sejahtera sesuai amanat UUD 45, tidak diperjuangkan.
Sementara, para pelaku politik tidak perlu menghambur-hamburkan uang dengan bentuk ”shodaqoh” uang. Kini, bukan saatnya lagi kapitalisme politik digerakkan. Menepati janji, sebagaimana kata Nabi, janji adalah hutang, adalah lebih berharga dan akan lebih terhormat di mata masyarakat. Hargai suara rakyat bukan dengan cara mony politic yang picik. (*)
OLEH BUSRI TOHA


KOMENTAR

banner Selamat Datang di busritoha.blogspot.com semoga bermanfaat
Nama

ARTIKEL,13,Catatan Harian,10,Cerita,6,JENDELA,33,lucu,3,News,11,OPINI,34,
ltr
item
Busri Toha: Jurus Klasik Kampanye
Jurus Klasik Kampanye
Busri Toha
http://busritoha.blogspot.com/2014/03/jurus-klasik-kampanye.html
http://busritoha.blogspot.com/
http://busritoha.blogspot.com/
http://busritoha.blogspot.com/2014/03/jurus-klasik-kampanye.html
true
8564605806601913725
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Selengkapnya Balas Cancel reply Hapus Oleh Beranda Halaman Postingan View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE CARI ALL POSTS Not found any post match with your request KEMBALI KE BERANDA Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy