foto, tribunnews.com KONON, orang yang menguasai informasi akan menguasai dunia. Dengan informasi, orang akan mengetahui kejad...
foto, tribunnews.com |
Wartawan
sebagai penyampai informasi, harus memiliki jaringan informasi yang luas.
Ketika tidak memiliki kunci-kunci informasi, maka fakta yang didapatkan akan
sumir. Inilah kemudian mengingatkan saya pada salah seorang teman ketika
pertama kali dibaiat menjadi wartawan di salah satu media nasional.
Waktu
itu, dia bertugas di Kalimantan Selatan. Karena masih awal, masih belum
memiliki banyak teman tentunya. Informasi pun masih terbatas. Suatu waktu, dia
sedang duduk di pinggir jalan. Lalu, ada mobil ambulans berkecepatan tinggi diiringi
sirine. Mobil maupun kendaraan lain minggir untuk mempersilahkan ambulans
mendahului.
Teman
saya ini, tanpa berfikir panjang, langsung mengejar ambulans itu. Dia berfikir,
ini pasti ada kejadian darurat. Pasti akan ada fakta menarik untuk diungkap
dalam sebuah berita. Namun, setiba di depan salah satu masjid, ambulans itu
berhenti. Sang sopir ke luar dan langsung pergi dengan cepat ke kamar kecil di masjid
itu.
Wartawan
ini, telah menyiapkan camera dan siap jebret. Namun, ternyata ambulans yang menghidupkan
sirine dan bisa bebas berlalu lalang di jalan raya, bukan karena ada kejadian
gawat darurat. Bukan pula karena ada orang sakit gawat dan butuh pertolongan
pengobatan cepat. Tetapi karena sang sopir kebelet kencing. Agar tidak terjebak
macet, dia menghidupkan sirine. ”Saya menghidupkan sirine karena kabelet
kencing. Sehingga tidak terjebak macet. Bukan karena angkut orang sakit atau
yang lain,” kata sang sopir ditirukan teman saya tadi.
Ini
menjadi fakta menarik bahwa wartawan harus menguasai informasi. Wartawan harus
banyak telinga. Jika sang sopir telah berbohong dengan membohongi para
pengendara lain, maka wartawan tidak boleh berbohong. Penguasaan berbagai
informasi menjadi penting. Namun, untuk memastikan informasi itu, memang harus
turun langsung ke lapangan. Ketika turun ke lapangan kadang memang mengecewakan,
tapi bukan berarti harus patah semangat. Sebab tidak ada berita libur.
Sementara,
penerima informasi atau pembaca suatu berita, akan menerima sebuah berita
sesuai dengan apa yang disampaikan dalam berita itu. Wartawan sebagai bagian
dari media, harus setia pada fakta. Media akan setia pada fakta ketika penulis
berita atau wartawan, setia juga terhadap fakta. Jujur dengan fakta dan
mengeksplor fakta dalam bentuk tulisan.
Berita
yang ditulis oleh para perawi berita (pencari berita dan editor.red) harus
berdasarkan tanggapan panca indera. Berita yang disampaikan itu, didapatkan
langsung dari pendengaran ataupun penglihatan perawi itu sendiri. Perawi berita
pun harus jujur. Jika perawi jujur, maka editor di meja redaksi pun tidak akan
kesulitan ketika menyelaraskan berita dengan karakter media.
Setia
pada fakta kadang memang hanya menjadi teori dalam kertas. Saya teringat dengan
kejadian tahun 2008 silam. Waktu itu, saya masih baru pertama dipercaya redaksi
untuk menjadi perawi berita. Ketika melakukan peliputan, langsung dihadang dan
dicecar sejumlah pertanyaan oleh orang tak dikenal. Mereka tidak mempedulikan UU
Pers bahwa tidak boleh menghalang-halangi tugas jurnalistik. Wartawan
dilindungi oleh undang-undang.
Mereka
tidak mempedulikan semua itu. Yang penting berita tentang kejadian tersebut
tidak boleh ditulis. Sebab jika ditulis akan mencemarkan nama baik dia sebagai
pimpinan atau pejabat. Dia tidak mau disebut koruptor raskin di tingkat desa.
Jika ditulis di media, kata dia, sama saja saya dengan membuka aib seseorang.
Dalam Islam, tidak boleh membuka aib seseorang ke khalayak umum.
Argumentasi
ini, seakan manjur. Saya sudah mengurungkan niat untuk menulis berita kejadian
sesuai dengan fakta itu. Prinsip setia pada fakta mulai lemah. Apalagi,
pelajaran di Pesantren dulu terus terngiang di telinga. Pada dasarnya, tidak
boleh mengungkapkan aib saudara se muslim karena ini termasuk perbuatan ghibah. Ghibah adalah mengungkapkan aib
saudaranya sesama muslim pada saat orang itu tidak ada dihadapannya.
Namun,
kemudian saya menemukan sebuah tulisan bahwa kemungkaran harus dihentikan.
Tindakan berbuat korupsi atau ngemplang uang rakyat harus dihentikan. Raskin
adalah hak rakyat miskin. Tak boleh dipotong apalagi diselewengkan. Dengan
ditulis di media dan ditanggapi oleh penegak hukum, maka si koruptor akan
ditangkap dan setidak-tidaknya akan penjara. Ini bukan untuk membuka aib.
Tetapi mempertimbangkan orang lain yang lebih banyak (masyarakat). Dalam hati,
tetap berkomitmen, kejadian ini harus saya tulis. Saya harus setia pada fakta.
Setelah
tidak mempan melarang saya menggunakan dalil Agama, lalu dia berusaha dengan
cara lain. Dia beralasan mau membayar ganti rugi. Bukan sok suci, tetapi saya
tolak dengan halus dan dengan penyampaian dan pejelasan logis. Katanya, bukan
sogokan tetapi ganti rugi. Sebab, kalau menyogok tidak boleh. Dalam kitab Sunan
at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah, ia berkata, ”Rasulullah telah melaknat orang
yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum”. (HR. at-Tirmidzi).
Orang yang menyogok dan orang disogok finnar.
Wartawan yang disogok dan mau menerima sogokan agar tidak menulis sebuah fakta
maka akan masuk di dalamnya.
Memang
wartawan di lapangan kadang kesulitan. Antara menerima dan menolak. Namun,
sebenarnya tidak perlu kesulitan hanya untuk menyampaikan fakta. Kata Nabi, sampaikan
sesuatu yang benar walau itu pahit ”Qulilhaqqo walaw kaana murron”.
Dalam
sebuah penulisan berita, seorang penulis berita memang harus jujur. Tidak boleh
berbohong dan menipu. Sebab, berita wajib fakta yang benar-benar terjadi.
Seorang wartawan atau penulis berita tidak boleh memalsukan apalagi sampai memasukkan
unsur fiksi dalam berita.
Inilah
kemudian mewajibkan saya untuk menulis sesuai dengan fakta di lapangan. Tanpa
menghilangkan rukun dari kelengkapan dan kejelasan berita yang setidak-tidaknya
memuat unsur 5W+1H atau what, when, where, who, why, dan how itu, kasus
tersebut saya tulis. Saya tulis dengan ringkas, padat, jelas, singkat tanpa menghilangkan
informasi penting.
Berita
yang mutawatir adalah berita ketika wartawan mendapatkan dari hasil turun
langsung ke lapangan. Ikut merasakan dengan menggunakan panca indra. Tidak
berbohong dan tidak pula mengada-ngada dan kemudian ditulis dalam bentuk berita.
Berita mutawatir harus memiliki sanad
yang jelas serta perawi berita terpercaya. Bukan hasil dari meminta apalagi
copy paste. Jika ini sudah berjalan dalam suatu media, maka ungkapan orang yang
menguasai informasi akan akan menguasai dunia, bisa terjawab. (*)
OLEH BUSRI TOHA
KOMENTAR